Terjadi di Era Tahun 50 anÂ
Mengapa dituliskan "Mak Comblang " atau "Mak Jomblang",karena selama ini biasanya yang menjadi Broker pernikahan adalah emak emak. Saya belum pernah mendengarkan kaum pria yang jadi Comblang . Ini kisah  semasa saya masih kecil.Â
Kalau kini ,"Mak Comblang" sudah alih wajah,dalam bentuk dan bertransformasi dalam ujud media sosial dan biro jodoh online . Bahkan ada WAG yang khusus menangani masalah perjodohan . Ada yang perjodohan sejati,tapi tidak sedikit juga yang menawarkan perjodohan semu  .Â
Tentang hal ini silakan ditanyakan kepada Ahlinya,karena saya hanya menceritakan tentang Mak Comblang yang dikampung halaman saya lebih dikenal sebagai Mak Jomblang,khususnya dalam masyarakat keturunan Tionghoa .
Ditangan Mak Jomblang ada beberapa data pribadi ,seperti :
- nama orang tuaÂ
- usia yang mau cari jodoh
- laki laki atau perempuan
- tinggal dimana
- pekerjaanÂ
- kesehatan
- gambaran wajahnya kira kiraÂ
- bilamana ada kesesuaian,berapa besar "uang antaran" (mahar)
Berdasarkan data data pribadi ini,maka Mak Jomblang mulai "memasarkan" secara door to door. Â Bila ada orang tua yang merasa kira kira berminat,maka data timbal balik akan diberikan kepada Mak Jomblang. Dan bila ada kecocokan,dijanjikan dimana dan kapan bertemunya. Bila sudah sama sama sepakat,maka diaturlah siapa yang akan mewakili melamar calon pengantin wanita secara resmi. Karena tradisi yang berlaku adalah yang melamar adalah dari pihak calon Pengantin Pria .
Nah,bilamana langkah selanjutnya juga berjalan mulus dan hari pernikahan sudah ditentukan,maka hingga disini tugas dari Mak Jomblang tuntaslah sudah. Dari kedua belah pihak,mak Jomblang mendapatkan Angpau sebagai tanda ucapan terima kasih,plus Kepala Babi  Hal ini berlangsung sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Rakyat,hingga di SMP.Â
Ada Orang Tua Yang Menetapkan Tarif
Saya masih ingat ada orang tua yang menetapkan tarif bagi yang mau melamar putrinya. Putri si Encim ada 3 orang dan semuanya cantik cantik,.Karena merasa punya "barang" bagus,maka si Encim bikin tarif :"Cap goceng" atau 15 ribu rupiah ,bagi yang mau melamar salah satu putrinya, Sebagai informasi pada waktu itu,uang sen dan uang benggol masih laku  dan untuk beli sebungkus nasi ramas adalah seharga 1 rupiah.
Tapi sejak saya sudah di SMA ,tradisi ini semakin kabur,karena ditahun 60 an ,kaum muda sudah tahu cari jodoh masing masing,termasuk yang menulis artikel ini. Saya dan calon isteri saya pada waktu itu ,sama sama di SMA don Bosco di Padang. Dan seperti persis seperti kalimat :"Love at the first sight" kami berdua sama sama jatuh cinta Dan seperti kisah Cinderrella ,kami menikah tahun 1965 and live happilly for ever and ever...
Tjiptadinata Effendi