Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghitung Pahala Saat Menolong Orang, Perlukah?

8 Mei 2021   12:28 Diperbarui: 8 Mei 2021   13:27 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari Kita Tanya Hati Masing Masing

Seperti yang sudah pernah saya tuliskan, sejujurnya secara pribadi, saya bukanlah termasuk tipe orang yang agamis. Karena saya belum mampu mempraktikan apa yang diajarkan oleh agama yang saya imani. 

Saya juga tidak mampu  berlutur dan berdoa berjam jam sehingga istilah "bergumul dalam doa"sungguh belum dapat saya pahami secara benar. 

Setiap malam ,isteri saya yang selalu mengajak saya berdoa.karena kalau saya berdoa sendiri,maka doa saya tidak sampai 1 menit,yakni "Terima kasih ya Tuhan, untuk semua yang sudah kami terima pada hari ini. Lindungilah seluruh  anggota keluarga dan orang orang yang kami sayangi. Saya serahkan seluruh hidup mati kami didalam tanganMu ya Tuhan, amin".

Dan dalam hitungan 1 atau 2 menit saya langsung tertidur. Saya bisa tidur di kursi,di kereta api ,dalam bis yang sedang melaju,apalagi berbaring ditempat tidur empuk. Perbuatan yang tidak patut dicontoh.

Kembali  ke Judul

Sebelum miss Corona memeluk dunia dengan mesranya dan belum mau beranjak hingga saat ini,setiap tahun,kami menyempatkan untuk pulang kampung.

Suatu waktu ketika sedang saya dan istri berkendara menuju ke Bandung. Seperti biasanya, saya lebih senang bila mengendarai sendiri. Lebih mantap, aman dan nyaman. 

Kami berdua bisa bebas bercanda.berbicara apapun urusan pribadi atau sementara kendaraan melaju ,menikmati makanan kecil yang disuapkan oleh isteri saya sambil saya tetap mengemudikan kendaraan .

Tujuan ke Bandung adalah mengunjungi  Yanita Effendi, kakak perempuan saya yang tinggal di Cijerah. Dari 11 orang bersaudara, kami hanya tersisa 2 orang, yakni saya dan kakak saya yang 7 tahun lalu kehilangan 2 orang putranya, yakni Ferry dan Hery bersama MH370 yang hilang secara misterius dan hingga saat ini tidak ada kabar beritanya. 

Di samping itu sekaligus memenuhi undangan teman teman di Bandung dalam acara temu kangen. Karena pada waktu itu hari Sabtu, maka kendaraan cukup ramai sehingga saat sudah berada diambang kota,kendaran hanya dapat melaju dengan kecepatan 20 kilometer perjam.

Tiba tiba ada sesosok wajah yang dicat dengan warna abu abu sedang berdiri di samping kanan kendaraan yang saya kendarai. Saya bukan kaca dan menanyakan ada apa? Lelaki bertopeng cat ini menawarkan untuk membersihkan kaca mobil.

Namun karena akan mengganggu orang lain, maka dengan halus saya tolak tawarannya, "Om Maaf berikanlah saya kesempatan untuk membersihkan kaca mobil. Terserah Om mau kasih berapa. Saya butuh untuk beli makanan anak dan istri dirumah..." katanya sopan.

Saya tertegun. Mendadak sontak saya merasakan bagaimana perasaan lelaki yang sedang berdiri dan menanti penuh harapan, sekedar 5 ribuan dari saya. 

Saya ingat bahwa dulu saya juga pernah berada dalam kondisi seperti ini, kendati tidak pernah sampai mengamen di jalanan. Namun kalau untuk makan harus utang sana sini sudah sering saya lakukan. 

Saya ulurkan tangan saya kearah istri saya dan Lina sudah tahu, saya minta uang untuk diberikan kepada sesosok anak manusia yang ada berjarak sejengkal dari kami. Walaupun kendaraan saya belum sempati disentuh, tapi lembaran 10 ribu rupiah saya ulurkan dan disambut dengan wajah ceria.

Mengapa Harus Memberikan?

Sama sekali tidak terpikirkan oleh saya mengenai pahala atau mungkin ada yang akan protes bahwa apa yang saya lakukan bukanlah contoh yang baik, malahan menyebabkan orang menjadi pemalas. Atau mungkin ada lagi pendapat lain bahwa tindakan saya memberikan selembar uang kepada sosok yang wajahnya dicat itu,sama sekali tidak mendidik dan tidak patut di contoh.

I don,t care about it. Saya sungguh tidak peduli dengan semuanya itu. Apakah saya mendapatkan pahala atau malahan saya dianggap berdosa karena telah telah melakukan perbuatan yang tidak mendidik, saya juga tidak peduli. Yang penting usai mengulurkan lembaran uang dan diterima dengan wajah gembira sambil mengucapkan:"Alhamdulillah" saya sudah senang

Hanya sebuah renungan kecil di akhir pekan

Burns Beach,musim gugur ,mei 2021

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun