Perayaan  Ceng Beng Tanggal 5 April
Ada begitu banyak ulasan tentang arti dan makna Ceng Beng yang jatuh pada setiap tanggal 5 April setiap tahunnya. Ada yang mengulas begitu detail dengan argumentasi yang sarat referensi, tentang memaknai arti dari perayaan Ceng Beng. Yang semakin dibaca ,semakin membuat kening kita berkerut kerut,karena saking banyaknya ulasan dari berbagai sumber.Â
Karena itu,dalam tulisan ini saya tak hendak mengaitkan dengan sumber sumber berita. Jadi tulisan ini,adalah apa yang saya alami dan jalani sebagai salah seorang keturunan Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Padang,Sumatera Barat Mengapa saya menekankan pada kota asal kelahiran saya? Karena kendati sama sama keturunan Tionghoa,terdapat perbedaan yang mencolok antara etnis Tionghoa yang dilahirkan di Sumatera Barat dengan yang dilahirkan di Medan Sumatera Utara.
Hampir 99 persen etnis Tionghoa yang lahir di Sumatera Barat,tidak bisa berbahaya Mandarin,kecuali yang memang duduk dibangku sekolah Tionghoa. Baik di Ying Shi School ,maupun yang bersekolah di Sin Hoa School pada waktu itu.
Secara umum,rata rata orang Tionghoa yang lahir di Sumatera Barat,sejak dari kecil sudah terbiasa berbahasa Padang dalam kehidupan sehari hari.Selain itu, cara memaknai arti dari Perayaan Ceng Beng juga berbeda.Â
Setiap tanggal 5 April, pada waktu dulu,seluruh warga Tionghoa,termasuk yang sudah memeluk agama lain,selain Konghucu, akan pulang kampung. Untuk menunjukkan baktinya bagi  orang tua yang sudah meninggal dunia. Karena rasa hormat terhadap orang tua,sangat kental dan tidak berakhir dengan kematian orang tua.Â
Cara mewujudkan rasa hormat adalah dengan membersihkan makam leluhur. Pada awalnya,begitu disiplinnya ,sehingga orang merasa kurang hormat ,bilamana ia menyuruh orang lain untuk membersihkan makam orang tua dan leluhur.Â
Tanggal 5 April ini,disebut sebagai Ceng Beng atau Cing Bing. Namun ada juga yang memilih tanggal 4 April. Sejujurnya,saya tidak tahu ,mengapa ada dua tanggal yang berbeda.
Ceng Beng yang ditulis Qing Ming, sudah menjadi budaya, bukan hanya di negeri asalnya Tiongkok, tapi juga sudah mendarah daging dalam diri orang Tionghoa perantauan, termasuk di Indonesia.Â
Sebelum tanggal 5 April, setiap tahunnya, seluruh anggota keluarga menyempatkan diri untuk pulang kampung guna berziarah ke makam leluhur. Membersihkan kuburan yang di Kota Padang disebut dengan istilah "merambah". Maksudnya merambah adalah membersihkan dari rumputan dan tanaman liar yang tumbuh di makam dan sekelilingnya.
Makam Sian Kong
Istilah makam "sian kong" ini dimaksudkan adalah dalam satu kuburan, diisi oleh pasangan suami istri. Jadi bila salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia, maka liang lahat,sudah dipersiapkan untuk dua orang.Â
Bagi yang sudah pernah membaca kisah San Pek Eng Tai, mungkin lebih mudah mendapatkan gambaran bahwa kesetiaan terhadap pasangan hidup bukan hanya ketika masih hidup, tapi juga setelah salah satu pasangan sudah meninggal.
Legenda ini, dulu merupakan legenda yang paling trend,dari mulai anak anak ,hingga orang tua,pasti sudah membacanya berulang ulang kali.Karena kisah percintaan yang dituangkan,pada masa itu sungguh merupakan gambaran dari kisah cinta sejati dari sepasang anak manusia.
Dijadikan Tolak Ukur Kesetiaan Antara Suami Isteri
Hal ini terpulang pada pasangan masing-masing,karena bila keduanya sudah berikrar untuk sehidup dan semati, serta bersedia dimakamkan bersama,maka harus ditepati. Karena sekali mengiyakan, maka berarti ia tidak lagi boleh menikah.Â
Jadi kalau pasangan masih memikirkan untuk menikah lagi,maka akan menolak untuk dipersiapkan kuburan disamping pasangan hidupnya. Dan walaupun tidak ada larangan, tapi bilamana hal ini terjadi, menunjukkan bahwa selama hidup pasangan ini tidak akur dan akan meninggalkan stigma yang negatif bagi pasangan yang menolak untuk di "sian kong" kan dalam liang lahat. Tapi itu cerita lama,karena sejak belakangan ini karena perjalaanan waktu,telah terjadi perubahan dalam memaknai arti perayaan Ceng Beng.Â
Tulisan diatas adalah gambaran ketika saya masih muda dan hal itu sudah berlalu lebih dari setengah abad  yang lalu Kemajuan zaman ,disertai masuknya budaya barat ikut  mempengaruhi  para warga Tionghoa di Indonesia.Apalagi rata rata generasi muda ,sudah beralih dari Konghucu ke berbagai agama lainnya,maka tradisi ;'sian kong".hanya tinggal cerita nostalgia saja.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H