Saya kira, satu-satunya ambisi Pak Tjip adalah berbagi “kesenangan” dengan sesama Kompasioner.Karena itu, sejauh yang saya baca, artikelnya tidak pernah menyinggung perasaan.Ada teguran, anjuran, untuk misalnya belajar dari berbagai peristiwa atau gejala sosial di Australia, sebagaimana dilaporkannya.Tapi kita tidak pernah nyeletuk,dengan mengatakan misalnya, “Itu kan di Australia, Opa?”.Sebaliknya, dengan cara bercerita kakek kepada cucu di pangkuannya, ia berhasil menginspirasi kita para pembacanya' (sumber).
Nah,karena sudah tahu bahwa saya cerewet,sekalian saya cerewetin lagi,yakni :" Janganlah mengambil kesimpulan ,hanya berdasarkan potongan potongan kalimat atau hanya berdasarkan sepatah kata. Bacalah atau dengarkanlan terlebih dulu dengan seksama konteks dari sebuah tulisan atau pembicaraan"
Tapi kalau saya dibilang :"Tjiptadinata Effendi yang sudah berusia senja" darah saya langsung mendidih dan lupa akan nasihat saya sendiri. Orang yang mengatakan akan saya kejar hingga keujung dunia manapun " (emangnya dunia ada berapa
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H