Sebagai manusia biasa,maka saya juga pernah mengalami rasa kecewa dan ngambek. Tapi bukan berarti saya langsung stop menulis,sebagai reaksi  atau unjuk rasa secara diam diam. Tetapi saya tetap menulisÂ
Karena saya menulis adalah demi kepentingan diri sendiri dan sekaligus mengaplikasikan hidup berbagi melalui tulisan saya.Kalau dibaca banyak orang tentu saja saya sangat senang,tapi kalau hanya dibaca oleh belasan orang,berarti saya harus belajar lebih banyak lagi bagaimana menulis yang lebih baik. Bahwa pencapaian Maestro ,bukanlah karena piawainya saya dalam hal tulis menulis,melainkan hanya karena saya konsisten menulis dari tahun ke tahun,tak lebih daripada itu. Kalaupun ada sahabat yang memberikan pujian kepada saya,hanya untuk menghargai usaha dan kerja keras Tegasnya, pencapaian saya hanya semata mata di bidang quantity ,tapi sama sekali bukan prestasi dibidang quality. Sadar diri akan hal ini,menjadi motivasi bagi saya untuk tidak ngambek dan stop menulis ,bila tulisan saya tidak dilirik Bukankah lebih baik melakukan introspeksi diri,ketimbang menyalahkan orang lain?
Apa yang baik menurut kita,belum tentu baik juga bagi orang lain
Salah satu hal yang paling mendasar adalah bahwa antara diri kita sebagai Penulis.tidak  sama sudut pandangnya dalam menilai sebuah artikel dengan Admin dan boleh jadi tidak selaras dengan selera pembaca. Akibatnya,tulisan yang sudah dipersiapkan secara sungguh sungguh ,ternyata tidak dilirik oleh pembaca.Sedangkan tulisan yang kita siapkan lewat Ponsel ,sambil duduk menunggu jemputan atau sambil menunggu pesanan makanan siap disajikan,eee ternyata di HL kan oleh Admin
Disinilah,kesadaran jiwa kita dituntut  ,bahwa kita harus mau mengerti dan memahami bahwa sudut pandang antara kita sebagai Penulis dan  sudut pandang Admin sebagai Pengelola Konten ,tidak selalu selaras .Apalagi dengan para Pembaca yang terdiri dari latar belakang yang heterogen
Hanya sebuah renungan ,sebagai sesama Penulis di Kompasiana ini
Tjiptadinata Effendi