Begini Logikanya
Mungkin ada yang berpendapat untuk menggapai peringkat MAESTRO di Kompasiana adalah suatu hal yang mustahil. Karena harus mencapai point 250.000 .Tapi kenyataannya saya bisa. Dan logikanya,bila ada Penulis yang bisa mencapainya,berarti secara prinsip semua Penulis mendapatkan kesempatan untuk mencapai tingkat Maestro. Â Â Â
Lagi pula saya butuh waktu delapan tahun untuk dapat meraih tingkat Maestro ini, bukan dalam hitungan minggu atau bulan. Seandainya saya hanya butuh satu bulan untuk mencapainya, maka bolehlah saya mendapatkan sanjungan.
Tapi butuh waktu 8 tahun ,yang kalau dikalkulasikan 8 X 365 hari atau sama dengan 2.920 hari,sehingga sesungguhnya tidak ada hal yang istimewa.
Hingga saat ini belum dapat memastikan,apakah hanya saya satu satunya merupakan Kompasianer pertama yang mencapai tingkat Maestro karena boleh jadi sudah ada  Kompasianer yang lebih Senior yang sudah meraihnya. Karena dari Admin belum pernah ada pengumuman resmi' Yang sering diumumkan adalah Penerima K Reward dan Penulis Terpopuler atau Teraktif selama tahun 2020.
Tapi siapa saja yang sudah mencapai tingkat Penjelajah, Fanatik ,Senior atau Maestro,setahu saya belum pernah ada pengumuman resmi. Mungkin karena hal ini dianggap tidak terlalu penting,karena hanya merupakan status secara lokal di Kompasiana
Logika Untuk Meraih Tingkat Maestro
Kalau di anggap secara rata rata Penulis di Kompasiana menulis selama tahun, dan pada saat saya mencapai Maestero setelah  8 tahun bergabung di Kompasiana. Maka secara teoritis bila terus menulis secara konsisten 8 tahun lagi Kompasianer yang hari ini berstatus Centang Hijau akan berhasil meraih tingkat Maestro. Yang dibutuhkan adalah tekad untuk menulis secara konsisten dan menghindari menulis dengan menerapkan :
- gaya lumba lumba
- gaya firework
- gaya kapan kapan sajaÂ
- gaya impian semusim
Yang dapat diuraikan secara ringkas
- Gaya menulis " Lumba lumba ",maksudnya  muncul sesaat dan kemudian menyelam lamaÂ
- Gaya menulis  "Fireworks  "adalah begitu muncul.orang terkagum kagum membaca tulisannya,tapi hanya sesaat untuk kemudian hilang
- Gaya menulis "Kapan kapan saja" Â adalah penulis yang menulis kapan lagi in the mood
- Gaya menulis "Impian semusim" adalah yang sibuk menulis dikala lagi Pilpres atau Pilkada
Bagi saya menulis itu adalah ibarat orang makan nasi,yakni :"kebutuhan " .Bedanya kalau makan nasi adalah untuk memenuhi kebutuhan phisik,sedangkan menulis adalah kebutuhan jiwa .Â
Ibarat makan walaupun lagi sakit gigi atau sariawan, tetap saja kita makan walaupun tidak sebanyak kalau lagi sehat. Begitu juga bila menulis adalah kebutuhan jiwa,maka kita tetap menulis,tanpa tergantung pada mood atau tidak.
Tulisan ini bukanlah hasil research ilmuan, melainkan ditulis dengan seadanya berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada. Bahkan ketika saya  terbaring di ruang karantina karena dicurigai tbc, saya tetap menulis di Kompasiana, demi memenuhi kebutuhan jiwa dan sekaligus mencegah kepikunan
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H