Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersahabat dengan Ayam? Rasanya Seperti Dongeng

26 Desember 2020   05:52 Diperbarui: 26 Desember 2020   06:04 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pinterest.com/hannaholaughlin

Berbagi Pengalaman Pribadi " Yang Tidak Masuk Akal"

Kita tidak hanya dapat menjalin hubungan persahabatan dengan orang orang sesuku dan seiman,tapi juga dapat menjalin hubungan persahabatan dengan orang yang berbeda suku,budaya dan agama.

Bahkan hubungan persahabatan dengan orang yang berbeda bangsa,beda bahasa dan beda dalam banyak hal.sama sekali bukanlah merupakan hal yang aneh. Bukan hanya kami berdua yang sudah merasakannya hingga kini,tapi juga banyak orang yang juga merasakan hal yang sama. 

Bersahabat dengan anjing dan kucing ,juga bukan lagi sesuatu yang dianggap aneh. Bahkan ada orang yang sedang berlibur keluar negeri,ketika mendapat kabar bahwa seekor kucing kesayangannya,mengalami kecelakaan karena tergilas kendaraan,mau membatalkan perjalanannya dan kembali hanya demi untuk seekor kucing. 

Bila dihitung berdasarkan materi,maka sosok orang semacam ini,mungkin dianggap aneh dan terkesan bodoh. Untuk apa membatalkan liburan yang bernilai belasan juta rupiah,"hanya" demi seekor kucing?  

Kalau seekor kucing tewas tergilas,ya sudah beli lagi gantinya yang lebih lucu.Begitu kira kira pemikiran orang yang menilai segala sesuatu dari sudut pandang materi. Hanya orang yang menyayangi hewan,yang dapat merasakan,bahwa kasih sayang terhadap seekor hewan kesayangan,sungguh tak dapat ditakar dalam sejumlah uang

Bersahabat Dengan Ayam

Membaca judul :"Bersahabat dengan ayam" hampir dapat dipastikan,tulisan ini hanyalah sebuah humor murahan atau merupakan cerpen yang ditulis sambil terkantuk kantuk.  

Tapi saya sungguh mengalami secara pribadi.  Waktu itu saya masih berusia 10 tahun dan duduk dikelas 3 Sekolah Rakyat dan tinggal dirumah orang tua kami di Pulau Karam, Mendengar namanya saja,orang sudah paham,bahwa daerah pemukiman ini,setiap kali hujan lebat atau air padang naik,akan "karam" karena terendam air. 

Dalam setahun,kami mengalami setidaknya 3 kali banjir.karena hanya beberapa meter dibelakang rumah kami ada kali,yang bernama "Kali Kecil" yang berhubungan dengan Sungai Batang Arau

Setiap kali banjir tiba,bagi orang lain mungkin merupakan hal yang menyusahkan ,tapi bagi saya pribadi justru merupakan saat saat indah. Karena hanya dengan berbekal sepotong bambu yang saya pasang kaitan diujungnya,maka saya mulai menangguk ,apa saja yang hanyut dan dianggap masih ada gunanya, Sebagian besar barang yang hanyut ini berasal dari Pasar Tanah Kongsi,yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah orang tua kami. 

Diantara yang hanyut,terdapat anak anak ayam ,yang berada dalam keranjang ,yang biasa dijual oleh para pedagang. Beberapa ekor dapat saya selamatkan dan saya pelihara dengan rasa kasih sayang. Setiap kali,saya akan berangkat kesekolah, anak anak ayam ,yang merupakan"anak angkat" saya ini,mengantarkan ramai ramai hingga kepintu pagar rumah .Dan uniknya,bila saya pulang sekolah,mereka sudah menyambut kedatangan saya di pintu pagar .Seperti kisah dalam dongeng ya? Tapi inilah pengalaman unik saya. 

Bertelur Ditelapak Tangan Saya

Ketika anak anak ayam ini sudah bertambah besar dan tiba saat untuk bertelur,uniknya mereka mencari saya dan ketika saya pegang ,ternyata tampak ayam tersebut wajahnya memerah dan nafas tersenggal senggal.Rupanya kebelet ingin bertelur. Agar tidak jatuh dan pecah,saya tampung dengan kedua belah telapak tangan saya . 

Dan terasa sesuatu yang hangat. Baru tahu,bahwa telur ayam,saat keluar  sangat lembek seperti telur katong,tapi sesaat kemudian kulit telurnya mulai mengeras. 

Banjir Yang Mengantarkan .Banjir yang mengambil mereka kembali

Suatu saat banjir besar melanda kota Padang dan terjadi pada tengah malam,yakni persis bulan  Desember tahun 53.Ketika saya terbangun ,seluruh kandang ayam sudah penuh dengan air. Seharian saya menangis ,karena sedih,seluruh ayam kesayangan yang saya peroleh dari banjir ternyata diambil secara menyakitkan kembali oleh banjir. 

Sejak saat itu,saya berjanji pada diri sendiri,tidak akan pernah makan daging ayam Dan jadi itu walaupun sudah berlalu 67 tahun lalu,masih selalu saya pegang teguh .Hingga kini saya tidak makan daging ayam

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun