Sehingga Anak Cucu Sudah Terbiasa Hidup BertoleransiÂ
Kami sama sekali tidak perlu sibuk mendidik anak cucu agar hidup bertoleransi. Karena keluarga besar kami, baik keluarga dari pihak saya, maupun dari pihak isteri terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Â Kalau diuraikan secara rinci tentu akan terlalu panjang. Maka saya mencoba menulis secara ringkas saja.Â
Dimulai dari kakek buyut saya  dari pihak ibu berasal dari daratan Cina Menikah dengan wanita asli pulau Nias. Sedangkan dari pihak ayah saya, kakek buyut juga asal dari negeri Cina dan nenek buyut adalah wanita Minang  Sedangkan dari pihak isteri saya, juga tidak berbeda, yakni kakek buyut asal Jepang dan nenek buyut dari pulau Nias.Â
Selanjutnya adik istri saya menikah dengan orang Minang dan Orang Jawa dan satu lagi dengan orang Italia. Anak kakak saya menikah dengan orang Batak. Kemudian keponakan keponakan kami sebagian besar menikah dengan orang Minang, orang Batak, orang jawa dan orang Sunda,orang Aceh serta Nias dan orang Belanda.
Puteri adik saya menikah dengan orang Jerman. Anak kakak saya menikah dengan orang Amerika Ada beberapa orang Ustad dan ada 3 orang Pendeta  dan biarawati. Yang jadi Pastor setahu saya belum ada, begitu juga yang menjadi Bhiksu  juga belum ada.
Belum Pernah Bertengkar Masalah Beda Suku dan Agama
Selama puluhan tahun kami hidup ditengah tengah anggota keluarga yang multikultural belum pernah sekalipun terjadi pertengkaran di antara kami Pada waktu kami masih di Padang dapat dikatakan rumah kami di Wisma indah I merupakan meeting point bagi semua sanak keluarga. Apalagi pada waktu itu usaha kami maju, maka menampung puluhan orang sanak keluarga dan teman teman setiap hari Sabtu untuk makan malam dirumah kami,sama sekali tidak ada masalah.Â
Di rumah kami di Wisma indah,ada ruang khusus untuk Shalat dan ada Sajadah yang kami beli dari Mesir disediakan untuk sanak keluarga dan teman teman yang datang berkunjung, bila tiba waktunya Sholat dapat melakukannya dirumah kami. Walaupun kami beragama Katholik, tapi dirumah kami tidak pernah masak daging babi.Â
Kalau kami pingin makan, kami ke restoran tapi dirumah sama sekali tidak tersentuh oleh daging babi. Sehingga sanak keluarga dan teman teman yang datang makan dirumah kami makan tanpa ada keraguan sedikitpun.
Setiap Tahun Kami Sediakan Angpau 3 Kali
Setiap tahun kami adakan Open House sebanyak 3 kali, yakni: Natal, Imlek dan Hari Raya Idul Fitri. Isteri saya jadi Sinterklas dan setiap tahun menukar uang baru dibank untuk dibagikan kepada seluruh anak anak yang datang berkunjung.Â
Kami bersyukur karena sejak dari awal, keluarga besar kami tediri dari berbagai suku dan latar belakang budaya dan agama, sehingga kami tidak perlu repot repot mengajarkan anak cucu tentang hidup bertoleransi karena untuk di Padang, keluarga kami termasuk yang dijadikan contoh keluarga yang hidup rukun dan damai dalam segala perbedaan.
Cobalah perhatikan wajah wajah yang ada difoto, semua ceria dan gembira. Jadi setiap ada kesempatan kembali ke kampung halaman, semua anggota keluarga dan sanak famili, kami undang dalam satu ruangan untuk makan bersama.
Baik dari pihak saya, maupun dari pihak isteri saya. Sehingga karyawan dari rumah makan bernama di Padang heran dan berkata, "Keluarga yang luar biasa pak". Karena mereka menyaksikan beragam suku bangsa duduk makan bersama dengan wajah ceria.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H