Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Usia Berapa Sebaiknya Jatuh Cinta?

16 November 2020   20:02 Diperbarui: 17 November 2020   11:29 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ket.foto : tahun 1983 diusia 40 tahun/dokpri

Bisakah Cinta di Lockdown?

Bahwa ada istilah "Cinta monyet" sudah semua orang tahu walaupun saya yakin tak seorangpun dapat menjelaskan, mengapa disebut cinta monyet? Apakah memang monyet ketika jatuh cinta, kemudian selang beberapa waktu putus hubungan? Sejujurnya saya tidak tahu.karena tidak memahami bahasa monyet.  

Kalau cinta monyet itu ditujukan kepada pasangan muda mudi yang jatuh cinta dalam usia belasan tahun,tentu ada patokannya, usia berapa sebaiknya orang jatuh cinta? Atau cinta itu bisa di lockdown dan baru dibuka bila tiba saat yang tepat?  Mungkin yang akhli tentang masalah percintaan lebih tepat menjawabnya.

ket.foto : tahun 1983 diusia 40 tahun/dokpri
ket.foto : tahun 1983 diusia 40 tahun/dokpri
ket.foto : 1983 .usia 40 tahun/dokpri
ket.foto : 1983 .usia 40 tahun/dokpri
Mana Yang Dipilih, Menikah Dini  atau Menikah Kesiangan?

Kami saling jatuh cinta di usia 17 tahun, yakni tahun 1960  semasa masih duduk di SMA don Bosco Padang. Saya baru saja naik ke kelas 2 dan seorang gadis yang bernama Lina baru saja masuk menjadi siswa disekolah yang sama namun beda jurusan. 

Nah, pada waktu itu, pekan orientasi siswa diisi dengan saling mengenal antara siswa siswi yang baru dan yang sudah lebih dulu sekolah disana dan disebut "Senior" Kewajiban bagi siswa yunior adalah mengumpulkan tanda tangan para senior minimal 50 tanda tangan.  

Pada saat Lina menyodorkan buku untuk saya tanda tangani, pandangan mata kami beradu terasa hati saya bergetar. Ternyata saya tidak bertepuk tangan sebelah karena ketika saya tanyakan "Namanya siapa dik?" Dan wajah gadis yang bernama Lina ini merona dan dengan suara bergetar menjawab "Nama saya Lina".

Bagi kami berdua,inilah yang dinamakan "Love at the first sight" Dan bilamana ada orang lain yang tidak setuju dengan boleh saja. Tapi buat apa? Masa iya kami berdua yang jatuh cinta, orang lain yang sibuk membahas. Benarkah jatuh cinta atau hanya sekedar saling tertarik saja? 

Selanjutnya kami semakin sering bertemu hingga tiba waktunya kami harus berpisah sementara, yaitu ketika saya lulus ujian dan sudah harus meninggalkan SMA don Bosco. 

Rasanya sedih banget karena selama satu tahun lagi Lina masih harus menyelesaikan kelas 3 nya dan saya sudah harus kerja untuk mengumpulkan uang membayar uang kuliah karena orang tua kami tidak mampu. 

Kemudian, setelah Lina lulus ujian SMA kami berdua bekerja di PT Hanico yang berlokasi di jalan Batang Arau. Kami bertekad akan menikah terlebih dulu dan kemudian sama sama melanjutkan kuliah di IKIP Padang.

2 Januari 1965 Kami Menikah

Pada waktu kami memutuskan untuk menikah salah seorang sahabat saya menasihati agar saya berpikir ulang. "Effendi, anda terlalu berani mengambil resiko. Belum punya rumah dan kehidupan belum mapan. Kalau saya nanti diusia 40 tahun baru akan menikah, bila kehidupan saya sudah mampan" Kata Peter sahabat saya yang usianya 5 tahun lebih tua dibandingkan saya. Tapi tekad kami tidak tergoyahkan dan pada tanggal 2 Januari1965 kami menikah secara sangat sederhana.

25 Tahun Berselang Bertemu Sahabat Saya Peter di Jakarta

Setelah  terputus kontak belasan tahun suatu waktu ketika kami sedang makan malam di salah satu restoran di Kelapa Gading di Jakarta, tetiba ada yang menepuk pundak saya. Ternyata sahabat saya Peter yang sudah lama tidak pernah ketemu. 

Ketika menanyakan tentang anak anak kami, saya sampaikan bahwa puter pertama kami sudah lulus Master of Computer Science. Dan Peter menyalami saya sambil mengucapkan "Selamat ya luar biasa !"Tapi tetiba terlihat ia menangis dan berkata "Saya baru menikah di usia sudah berkepala 4 dan anak pertama masih duduk di SMP sedangkan yang 2 orang lagi masih di SD. Dan saya tidak tahu harus menghibur bagaimana, selain dari menepuk pundaknya dan berkata "Tidak masalah kan".

Setiap orang berhak memilih jalan hidup masing masing dan tentunya dengan segala konsekuensinya. Kita lah yang menentukan, kapan sebaiknya menikah bukan orang lain. Karena yang akan menjalani hidup adalah diri kita,bukankah begitu?

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun