Ketika Banjir Melanda Jakarta
Dari jendela apartemen yang kami huni, sambil mereguk secangkir kopi hangat dan menikmati lumpia goreng saya menyaksikan banjir yang melanda ibu kota negara RI tak ubahnya bagaikan menonton pertunjukan Sirkus.Â
Menyaksikan betapa pengemudi sepeda motor yang mencoba menerobos genangan air akhirnya tumbang . Disudut lainnya, tampak para pemilik mobil bukannya berada dalam kendaraannya tapi naik keatas atap kendaraan bersama anak istrinya lantaran air sudah masuk kedalam kendaraannya.Â
Bagi kami yang tinggal diketinggian, mau banjir tiap hari juga nggak masalah. Kendaraan aman karena saya parkir dilantai 3 . Hujan lebat dan semua supermarket tutup? Juga no problem at all. Karena diapartement ada minimarket yang buka 24 jam khususnya disaat banjir badang melanda Jakarta.Â
Itupun saya tidak perlu turun lewat lift, tinggal telpon dan sebutkan "Mbak, tolong antarkan ke atas saya di lantai 27" dan saya tinggal menyebutkan barang barang makanan apa yang dibutuhkan untuk memasak hari itu. Dan dalam waktu kurang dari 15 menit, bell berbunyi dan pesanan tiba. Tinggal bayar sesuai tagihan dan kasih 10 ribu untuk tips si mbak yang antar barang, sudah membuat si mbak happy banget .
Esok Harinya
Esok harinya banjir surut. Tampak dijalan berbagai onggokan sampah menumpuk, bahkan kendaraan yang mogok terendam air masih siaga ditempat. Maka tibalah saatnya saya turun kebawah dan menjadi "malaikat penolong".
Cukup dengan modal beberapa kardus mie instant, saya ajak 2 orang Sekuriti untuk mengangkatnya. Dan dengan sikap menghormat kedua Sekuriti ini menjawab "Siap pak " Dan dengan dada membusung dan lubang hidung terangkat keatas, saya mulai datang sebagai malaikat penolong. Â
Mendatangi kawasan kumuh yang lokasinya hanya sejengkal dari apartemen dimana kami tinggal. Dan  tentu tidak lupa aktion untuk memberikan kesan bahwa diri saya adalah orang yang berjiwa pahlawan, dengan sengaja mencelupkan kaki celana jin kedalam lumpur dan pakaian saya percikan dengan lumpur.Â
Nah, komplitlah sudah peran saya sebagai malaikat penolong. Sekuriti mulai membuka kardus mie instant dan saya mulai membagikan kepada penduduk yang sudah kemarin mungkin tidak makan apa apa, karena semua persediaan makanan mereka di dapur sudah terendam air.
Dalam waktu singkat saya sudah dikelilingi puluhan warga yang menunggu uluran tangan saya, memberikan mereka masing masing sebungkus mie instant Semakin lama semakin banyak yang datang. Dan tentu saja tidak lupa kondisi "heroik" yang saya lakukan ini, dijepret sana sini oleh Sekuriti yang membantu saya sesuai order.
Ucapan terima kasih membanjir dan ditujukan kepada diri saya. Dan dalam waktu dan tempo sesingkat singkatnya, saya sudah dinobatkan sebagai Pahlawan (kesiangan) secara aklamasi oleh warga yang merasakan bahwa diri saya adalah utusan dari surga
Dan dengan dada yang membusung karena sesak dengan rasa kebanggaan menjadi pahlawan didepan puluhan warga ditempat kumuh tersebut, maka saya kembali ke apartemen dengan rasa puas karena dahaga saya untuk dapat disebutkan sebagai pahlawan sudah terpenuhi hanya dengan bermodalkan beberapa kardus mie instant. Walaupun ada perbedaan sedikit, yakni menjadi "Pahlawan Kesiangan" bagi saya tidak masalah.Â
Yang penting, ada kata Pahlawan disematkan atas diri saya. Dan kelak ketika majalah warga di apartemen di terbitkan, disana ada foto saya sedang "in action"dengan keterangan foto "Tjiptadinata Effendi, warga apartemen peduli korban banjir "
Dan foto saya yang berada diantara kerumunan begitu banyak orang sungguh merupakan kebanggaan bagi saya, karena tanpa ikut berperang, tanpa perlu ikut bersusah payah membantu warga korban banjir, cukup dengan beberapa kardus mie instant, secara instant saya sudah jadi Pahlawan bagi warga setempat.
Catatan:
Sebuah cerpen yang merupakan kritik diri  di Hari Pahlawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H