Malam Yang Mencengkam
Sejak sore tadi hujan lebat dan disertai bunyi guntur yang seakan merontokan dinding kedai merangkap tempat tinggal kami tiga beranak. Air selokan sudah mulai mengenangi seluruh ruangan ,sehingga tidak ada lagi tersisa tempat bagi kami .
Saya gendong putra kami yang baru satu orang dan belum genap berusia 4 tahun. Tubuhnya gemetaran menahan dingin dan lapar. Saya naik keatas meja ,diikuti isteri saya .Ternyata hanya selang beberapa saat genangan air sudah hampir mencapai bibir meja.Â
Satu satunya jalan adalah memanjat ke atas loteng,yang sesungguhnya sangat riskan,karena sudah lapuk. Tapi tidak ada jalan lain. Resiko harus diambil. Dengan menggunakan kursi reyot sebagai tangga,saya yang pertama bergayutan didinding dan berhasil menggapai loteng
 Isteri saya mengangat tubuh putera kami yang kurus pucat setinggi mungkin,agar saya bisa meraihnya. Syukur saya bisa meraihnya  dan mendudukannya disamping saya.Kini tiba giliran isteri saya harus naik.Â
Saya turun kembali kebawah dan minta agar isteri saya naik keatas kursi dan kemudian naik keatas bahu saya ,agar dapat menggapai loteng. Dengan susah payah,akhirnya  kami bertiga sudah berada di atas loteng yang gelap gulita . Karena aliran listerik sudah sejak lama diputus PLN karena tidak mampu membayar tunggakan.Â
![ket.foto: dulu kami tinggal disini/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/24/tanah-kongsi-5f935371d541df75a4647a62.jpg?t=o&v=770)
Dalam pelukan ibunya ,putra kami dengan suara memelas berkata:" mama .lapar ma " Dan saya tidak mampu membendung air mata  .Ada rasa bersalah mendalam pada diri saya. mengapa saya tidak mampu merawat anak dan isteri saya?Â
"Ya Tuhan, izinkanlah saya sendiri yang menanggung beban hidup ini. Tolonglah ya Tuhan,jangan biarkan anak isteri saja ikut menderita .." pinta saya dengan meratap...
Tetiba terasa tubuh saya digoyang goyang dan suara isteri saya terdengar :" Koko ,mengapa menangis? mimpi buruk lagi yaa" Dan saya terbangun. Bersyukur bahwa mimpi buruk itu sudah berlalu sejak  50 tahun lalu ...
Saya memeluk isteri saya dan kami berdua bangun dan bersyukur kepada Tuhan. Bahwa setelah seluruh rangkaian perjalanan hidup yang perih dan teramat menyakitkan,ternyata semua akan indah pada waktunya Mimpi buruk itu sangat menakutkan,tapi sekaligus menjadi alaram bagi saya,untuk jangan pernah lupa bersyukurÂ
Catatan:
Mimpi buruk tersebut, adalah bagian dari perjalanan hidup kami ,sewaktu masih tinggal di pasar kumuh yang bernama Pasar Tanah Kongsi. Putra kami yang pada waktu itu baru satu orang,bernama Irmansyah Effendi.Mimpi buruk tidak selalu buruk. Terkandang dibutuhkan ,agar menjadi pengingat,agar jangan pernah lupa diri,jangan sombong,\serta jangan lupa untuk bersyukurÂ
Kini ,anak yang dulu kurus kering dan kelaparan,telah menyediakan rumah bagi kami berdua untuk tinggal di tepi pantai Burns Beach. Pagi ini,saya dan isteri berpelukan sambil menangis. Tapi tangis yang berbeda total dengan tangis kami 50 tahun lalu. Sungguh Mahabesarlah TuhanÂ
Cuplikan dari biografi kami,yang pernah merasakan bagaimana hidup dalam kemelaratan dan kemiskinan selama tujuh tahun
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI