Dari Apa yang Terlintas di Mata ataupun Terlintas dalam Pikiran
Ada peribahasa kuno berbunyi,
"mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan"Â
Yang dapat dimaknai karena mengharapkan sesuatu yang tidak jelas, malahan mengabaikan yang sudah ada di depan mata. Walaupun mungkin tidak tepat seratus persen, tapi filofosi ini dapat dijadikan kilas balik dalam menemukan ide menulis.
Menemukan ide menulis ,sesungguhnya sangat mudah,tapi kita sendiri yang mempersulitnya,karena mengharapkan ada ide cemerlang yang mungkin begitu ditayang,terus masuk ke kategori Headline. Nah,karena itu entah sudah berapa banyak ide yang singgah dikepala,kita buang lagi,karena ingin menemukan ide yang brilliant. Akibatnya duduk selama satu jam ,tapi tidak berbuat apapun . Kita buang waktu secara sia sia. Padahal dalam waktu satu jam itu,satu artikel sudah bisa ditayangkan.Â
Temukan Ide dari apa yang tampak
Lagi duduk di depan laptop sambil mereguk secangkir kopi, maka ide pertama sudah muncul. Yakni tentang bersyukur. Ada jutaan orang di Indonesia yang pagi hari jangankan bisa  duduk sambil ngopi, malahan begitu bangun sudah harus terburu buru berangkat ke tempat pekerjaan dan tidak punya waktu untuk duduk di depan laptop. Karena jangankan beli laptop, untuk makan saja sudah susah. Maka  bagi yang piawai dalam menulis puisi, sudah dapat melahirkan sebuah puisi "Bersyukur".
Dan bagi orang tipe seperti saya yang tidak piawai dalam hal menulis puisi, dapat menuangkan dalam tulisan, "Menyukuri apa yang ada, jauh lebih baik ketimbang mengeluh untuk sesuatu yang belum dimiliki".
Melihat semut melintas didepan mata
Sedang asyik menikmati secangkir kopi hangat, tampak seekor semut yang sedang berusaha menyeret sebutir nasi yang tercecer. Maka hal ini langsung dapat melahirkan sebuah tulisan, "Belajar hidup berbagi dari seekor semut". Karena belum pernah menyaksikan semut mendapatkan sebutir nasi, terus menikmatinya sendiri secara diam-diam. Selalu ia akan berusaha menyeret makanan tersebut untuk dibawa kesarangnya dan dimakan bersama-sama.
Atau menyaksikan sinar mentari pagi menyeruak di sela gorden jendela, maka lahirlah tulisan yang berjudul "Belajar memberi dari mentari, yang tidak pernah berharap balasan". Jangan pernah menghitung apa yang sudah pernah kita berikan kepada orang lain, tapi jangan pernah melupakan sepotong ubi rebus yang diberikan kepada kita oleh seseorang
Menulis Itu Menghadirkan KelegaanÂ
Usai menayangkan sebuah tulisan, terasa ada suatu kelegaan. Minimal kita sudah mengaplikasikan hidup berbagi melalui hasil karya tulis kita. Mungkin tulisan kita telah menyebabkan orang tersenyum atau bisa jadi tulisan kita menyadarkan seseorang bahwa hidup itu seharusnya diisi dengan rasa bersyukur, bukan dengan keluh kesah berkepanjangan.
Setidaknya dengan menulis, kita sudah memenuhi kriteria,
"Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya." Dan melalui sebuah tulisan, kita sudah mengawali hari kita dengan hidup berbagi dan menjadikan kita manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Hanya sebuah renungan kecil di pagi indah ini. Terima kasih Tuhan,saya masih bisa menulis dalam usia 77 tahun plus.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H