Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

7 Tahun Menulis Secara Konsisten dan Persistensi

4 Agustus 2020   20:43 Diperbarui: 4 Agustus 2020   21:05 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: dreamtimes.com

Butuh Ketabahan Hati

Kalau sebelum menikah,mengunjungi pacar secara konsisten dan persistensi,tentu saja sama sekali tidak masalah . Misalnya setiap weekend dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan,selalu setia datang berkunjung dan tidak pernah terputus,hanya karena hujan lebat ataupun demam. Kunjungan ini baru terhenti,setelah menikah dan tinggal serumah,sehingga tidak perlu lagi ritual kunjung mengujungi. 

Tetapi bilamana pacarannya berlangsung hingga 7 tahun,apakah masih akan mampu mempertahankan kunjungan secara konsisten dan persistensi?  Silakan dijawab masing masing

7 Tahun Menulis Tak Terputus Di Kompasiana

Saya mulai bergabung di Kompasiana tanggal 12 Oktober ,2012  ,jadi pada tanggal 12 Oktober mendatang, saya sudah genap 8 tahun menjadi salah seorang dari ribuan penulis di Kompasiana ini. Konsisten dalam menulis ini tentu setiap orang berhak menentukan sendiri Ada yang konsisten menulis sekali seminggu atau seminggu dua artikel ,tapi ada juga yang konsisten menulis :"one day one article" . 

Kata :"persistensi " ini,menurut saya adalah bahwa dalam sebulan total artikel yang di tayangkan berjumlah minimal 31 judul tulisan dan ditulis setiap hari,minimal satu artikel. Aturan "persistensi" ini dilanggar bilamana ada hari hari yang bolong ,walaupun total tulisan dalam sebulan adalah sama yakni 31 artikel. tapi sudah tidak dapat lagi disebut sebagai "Konsisten dan Persistensi"

Suka Duka Mempertahankan 

Menulis secara konsisten dan persistensi selama sebulan  ? No, problem at all! .Setahun ? Juga Ok ! Tapi menulis secara konsisten dan persistensi selama berturut turut 7 tahun ,bahkan memasuki tahun ke 8,bukan perkara mudah. 

Banyak halangan dan hambatan yang dihadapi. Misalnya ketika sedang dalam perjalanan jauh dengan kereta api ,maka ketika orang lain dapat duduk santai sambil menikmati pemandangan  indah lewat jendela. saya masih harus mempersiapkan minimal satu artikel.Dan di Kereta api,jelas tidak ada Wi Fi ,maka satu satunya jalan adalah membawa perangkat Mobile Wifi ,yang tentu tidak diperoleh secara gratis. 

Dilain waktu, setelah seharian berada di Padang Pasir, malam hari tiba dirumah mata sudah sangat mengantuk dan kelelahan. Rasanya pingin cepat cepat menikmati kasur empuk Tetiba  ingat bahwa artikel belum ditulis. maka dengan menggunakan secangkir kopi sebagai :"dopping" ,artikel disiapkan untuk ditayangkan ,demi menjaga persistensi.  

Tidak Bakalan Dapat Apa Apa Kok Masih Terus Menulis?

Siapa suruh begitu mati matian bela belain menulis di Kompasiana? Apa sih yang diharapkan? Mengapa harus menyiksa diri,hanya untuk menulis di Kompasiana ? Apalagi setelah meraih Kompasianer of the Year 2014. "karir " di Kompasiana sudah berakhir dan jangan berharap akan ada lagi pernghargaan lainnya,karena hal ini sudah jadi ketentuan? Nah, mengapa tidak berhenti menulis ?

Sejujurnya,saya tidak berharap apa apa dari Kompasiana Bagi saya menulis adalah terapi jiwa dan sekaligus bagian dari ibadah ,untuk mengaplikasikan hidup berbagi. Cuma itu ? Sungguh,cuma itu  dan tidak ada yang lainnya. Kalaulah saya menulis karena mengharapkan sesuatu imbalan,maka saya tidak akan mampu bertahan selama hampir 8 tahun. 

Hingga hari ini,artikel saya yang sudah terposting belum cukup 5000 tulisan. Target saya agar tepat pada tanggal 17 Agustus 2020 total tulisan saya menjadi 5000 agaknya tidak tercapai Karena hingga hari ini, total tulisan saya ,baru mencapai 4.950 judul Tapi setidaknya,pengalaman yang saya tulis ini,dapat menjadi motivasi bagi para Penulis Mileneal. jangan sampai menulis dengan semangat :"coca cola" ,yakni mengebu gebu dan sesaat kemudian redup dan padam

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun