Agar Kita Dapat Bersahabat dengan Siapa Saja
Seribu teman masih terlalu sedikit, tapi satu musuh sudah terlalu banyak. Filosofi yang terkesan usang, kuno, dan basi ini, sesungguhnya tetap relevan selama dunia masih dihuni oleh makluk yang namanya manusia. Setiap orang tentu saja dengan bebas menerjemahkan arti dan makna dari filofosi ini dan sekaligus bebas menentukan jalan hidupnya.Â
Secara pribadi, saya dan istri sejak menikah sudah menjadikan filosofi ini sebagai dasar dalam kami melangkah dalam menapaki hidup. Bukan hanya sebatas semboyan basa-basi, tapi sejatinya kami aplikasikan dalam setiap langkah kami.Â
Begitu juga falsafah, "Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung." Kami tidak pernah memilah milih untuk menjalin persahabatan. Kami bergaul dengan siapa saja. Bukan hanya dari kalangan pengusaha ataupun orang orang yang hidupnya sudah mapan, tapi juga bergaul dan bersahabat dengan orang yang selama ini dianggap levelnya di bawah standard
Kami bersahabat dengan beragam suku bangsa. Beda warna kulit, beda bahasa, budaya, dan agama dan beda dalam takaran usia dan latar belakang sosial.
Tapi semuanya ini tidak menyurutkan langkah kami untuk tetap berusaha untuk mencapai aktualisasi diri, yakni kondisi di mana tidak ada lagi perbedaan yang dapat menjadi sekat dalam hubungan persahabatan.
Selama menumpang hidup di negeri orang, kami akrab dengan berbagai suku bangsa, termasuk kepada anak-anak mereka. Anak-anak mereka memangggil kami Engkong dan Emak.Â
Anak-anak ini adalah teman teman cucu kami, sejak mereka masih sama-sama duduk di sekolah dasar. Persahabatan mereka terus berlangsung hingga saat ini, walaupun mereka sudah kuliah secara terpencar.Â
Kami sudah menganggap mereka seperti cucu sendiri. Setiap kali datang ke rumah, saya sudah hafal apa yang akan mereka katakan, yakni "Kong, may I have some noodle?"
Nah, satu yang mulai, maka semaunya antrian. Dan walaupun mereka masih anak-anak, tapi tidak cukup satu bungkus Indomie untuk per orang.
Baru beberapa menit, sudah ada yang minta tambuah ciek. Maka akhirnya setiap kali masak Indomie, saya tsudah takar bagi mereka masing-masing dua bungkus. Â
Suatu waktu anak-anak ini datang dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Dan dengan senang hati saya melayani permintaan mereka akan mie. Karena menurut mereka, mie yang dimasak oleh ibu mereka nggak sama rasanya.Â
Tapi kali ini, setelah semua cucu angkat kami menghabiskan masing-masing dua bungkus dan tiba giliran untuk saya dan isteri, ee ternyata bandar tekor Persediaan indomie, cuma tinggal kardus kosong doang. Yaa dengan paksa rela, pagi itu kami puasa sarapan dan dirapel saja sekalian dengan makan siang.
Bercanda dengan anak-anak sungguh menghadirkan kegembiraan yang tak ternilai. Mereka semua masih polos. Hingga kini, setiap kali kontak via facebook, selalu mereka menyelipkan kata "I miss you Kong and Mak." Dirindukan anak-anak adalah sepotong kebahagiaan yang tidak ternilai.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H