Asal Saja Kita mau Membuka Pintu HatiÂ
Kalau kita menyaksikan beragam kehidupan yang sedang berlangsung di sekeliling kita, maka salah satu diantaranya yang menarik perhatian adalah betapa sekawanan burung, hanya  mau berada bersama sama dengan burung sejenisnya.Â
Bahkan hal ini masih dipilah lagi, bukan hanya sejenis tapi juga yang warna bulunya  sama. Misalnya burung yang bulunya berwarna putih, hanya mau hidup bersama dengan kelompok burung yang berwarna putih.Â
Mungkin nalurinya, mengisyaratkan bahwa hanya bila mereka berada berkelompok,maka akan aman dari predator. Inipun hanya sebuah prediksi yang kalau mau dibuktikan,butuh penelitian yang lebih specifik,karena kita tidak mengerti bahasa burung.Â
Menyamakan manusia dengan kawanan burung,tentu saja merupakan hal yang sangat naif dan merupakan pelecehan terhadap martabat manusia yang konon merupakan makluk ciptaan Tuhan yang tertinggi dari segala makluk di seluruh jagat raya. Gambaran tentang kawanan burung diatas,hanya sebatas analaogi sederhana,untuk memudahkan penggambarannya.
Sejak zaman orang masih menanak nasi dengan periuk dan kayu api,hingga masuk ke zaman modern,dimana untuk menanak nasi,hanya dengan rice cooker bahkan bisa diprogam, tetap saja banyak orang yang hidup dengan falsafah "Aku masih seperti yang dulu". Yakni hidup dalam kelompok yang satu suku dan satu warna kulit.Â
Dalam kondisi ini orang merasa nyaman karena terkurung oleh zona kenyamanan dan keamanan yang dicipatakan sendiri. Secara tanpa sadar orang membangun penjara tak kelihatan yang akan dihuninya seumur hidup'
Sesungguhnya dengan membuka diri untuk secara bebas kita bisa bergaul dengan siapa saja. Perbedaan suku ataupun perbedaan latar belakang sosial dan agama sama sekali bukanlah halangan bila memang ada niat baik dalam hati kita.Â
Kata kuncinya sangat sederhana yakni menerima kenyataan bahwa setiap orang berhak berbeda dengan kita. Baik berbeda dalam adat istiadat, cara berpakaian dan berbeda sudut pandang dalam menilai sesuatu kejadian. Menerima perbedaan, bukanlah berarti bahwa  jati diri kita sudah tergadaikan. Kita adalah tetap diri kita seuntuhnya.Â
Semua orang tahu bahwa nenek moyang kami berasal dari negeri China  dan kami beragama Katolik. Tetapi kami membuktikan,bahwa kami di terima dikampung halaman kami di Sumatera Barat yang penduduknya 97 persen adalah Muslim.Â
Kami juga diterima di Aceh bukan hanya dengan tangan terbuka, tapi dengan hati terbuka. Bahkan kami diundang makan dirumah penduduk. Â Begitu juga di Mataram yang mayoritas Muslim, kami makan bersama teman teman disana disalah satu rumah mereka.Â
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H