Bagaimana Kami Menjalaninya
Sambil duduk menyeruput secangkir kopi yang disediakan istri tercinta, pikiran saya melayang kemasa masa kami masih tinggal di Padang. Tiba tiba ada kerinduan hati untuk kembali kemasa masa silam. Tentu saja hal ini hanya merupakan angan angan dalam hati.
Jadi kalau anak anak melanjutkan studi keluar negeri dan pada awal beberapa bulan  pertama mengalami home sick atau rindu rumah, ternyata orang yang sudah lebih dari dewasa seusia saya masih saja memendam kerinduan hati yang serupa.Â
Bedanya, kalau anak anak mungkin secara kentara menampakan kegalauan hatinya, maka sebagai orang yang sudah lebih dari cukup menelan asam garam dan pahit getirnya hidup dapat memanage perasaan agar tak terlihat.Â
Kalau dulu, di bulan Ramadan ini rumah kami yang berlokasi di Wisma Indah 1 no.6 di Komplek Wisma Indah I di Ulak Karang Padang selalu menjadi "posko " untuk berbuka puasa bersama dengan saudara saudara dan teman teman yang Muslim.
Apalagi pada waktu itu kami masih aktif sebagai Pengusaha, maka menjadi tuan rumah dan sekaligus mempersiapkan segala sesuatunya sama sekali tidak masalah
Menjaga KepercayaanÂ
Salah satu hal yang menyebabkan sanak keluarga kami yang terdiri dari berbagai etnis: Tionghoa, Minang, jawa, Batak, Jerman, Italia, Australia, Cina, Belanda dan seterusnya sudah tahu persis bahwa dirumah kami tidak memasak daging babi.Â
Kalau kami sesekali mau makan "Sio Bak" atau babi panggang, kami ke Pondok untuk makan di restoran. Jadi dirumah kami total tidak tesentuh oleh masakan yang berbau babi.Â
Karena rumah kami cukup luas, maka satu kamar kami sediakan khusus sebagai ruang bagi saudara yang akan Sholat. Dalam acara berbuka puasa bersama tugas kami adalah menyediakan segala sesuatu yang diperlukan, tapi selanjutkan untuk pelaksanaannya kami serahkan kepada saudara  yang Muslim.Â
Usai berbuka puasa bersama, kami manfaatkan untuk saling merekatkan hubungan kekeluargaan dengan berbincang bincang sambil duduk dipinggir kolam renang pribadi yang ada di belakang rumah.
Rukun dan Damai Hingga Sama Sama Menua
Kalau mau dipersentase, maka dalam keluarga besar kami kira kira 40 persen beragama Katolik, 40 persen lagi beragama Islam, dan 20 persen lagi beragama Budha, Konghu Cu dan Kristen.
Tapi sejak kami menikah hingga saat ini tidak sekali juga terjadi cekcok atau bersinggungan lantaran masalah beda agama. Bahkan hingga tahun lalu kami berkesempatan pulang kampung, semua sanak keluarga masih tetap datang berkumpul bersama sama.
Namun karena kami tidak punya rumah lagi di Padang, maka kami manfaatkan berkumpul dan makan bersama di restoran Padang
Ketika ada yang meributkan masalah beda etnis dan agama, keluarga besar saya dan keluarga besar dari pihak isteri yang sudah menyatu menjadi keluarga besar kami berdua sama sekali tidak tersentuh oleh masalah perbedaan. Kami hidup rukun dan damai, sejak dari mudahingga sama sama sudah berkeriput dan rambut sama memutih.
Hanya sebuah kenangan kecil  dan sekaligus kerinduan hati untuk dapat bersama sama seperti dulu, walaupun saya tahu,semuanya hanyalah tinggal kenangan indah
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H