Apa Ada yang Salah dengan Diri Saya?
Sejak lebih dari setengah abad lalu, sudah tidak terhitung saya mendengar atau membaca kalimat, "Rumput tetangga biasanya lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri". Bahkah hingga usia menginjak ke angka 77 tahun, sejujurnya saya belum pernah merasakan seperti apa yang dikatakan orang bahwa rumput tetangga lebih hijau. Dalam hal apa?
Kalau boleh diterjemahkan artinya, orang selalu merasakan bahwa apa yang dimiliki orang lain, lebih baik, lebih cantik, lebih gagah, lebih pintar, dan seterusnya. Boleh jadi rumput dalam arti kata sebenarnya, tapi bisa jadi dimaksudkan istri tetangga lebih cantik menarik atau suami tetangga lebih ganteng dan gagah dan seterusnya.
Mulai dari Pekarangan Rumah
Tetangga kiri kanan setiap kali lewat di depan kediaman kami, selalu melirik ke kebun sayur mini di halaman samping sambil mengangkat jempolnya sebagai pertanda kekagumannya. Dengan lahan sempit dan berpasir, saya dapat menanam sayur dan tumbuh subur.
Selanjutnya membandingkan kendaraan. Maka tanpa bermaksud pamer diri, kendaraan Nissan X trail yang dihadiahkan oleh putra kami sewaktu ulang tahun saya ke 76, masih baru. Angka kilometer, baru menunjukan angka 5.600 Km.Â
Lebih lanjut mengenai hubungan kekeluargaan, putra sulung kami yang sudah berkeluarga dan berusia 54 tahun masih mau main drone bersama saya, mengantarkan makanan untuk kami sebagai papa mamanya dan menjemput kami untuk makan bersama.Â
Saya no comment, tapi bagi saya, istri saya adalah wanita paling cantik di dunia. Â Bagaimana dengan suami tetangga? Kata istri saya, satu-satunya laki-laki yang ada dalam hatinya sejak dulu, kini, dan selama-lamanya adalah diri saya.
Sejujurnya, hingga detik ini, saya belum pernah merasakan bahwa ada sesuatu pada tetangga yang jauh lebih baik daripada apa yang kami miliki. Kami bersyukur dapat melalui hidup pernikahan selama lebih dari setengah abad.
Putra kami dan anak istri, khusus mempersingkat liburannya hanya untuk dapat menghadiri ulang tahun ke-76 saya. Menghadiahkan saya kendaraan, padahal dirinya sendiri belum sempat membeli kendaraan pengganti.
Kami berdua tidak perlu memikirkan kerja karena semuanya sudah tersedia. Rumah tidak disewa, karena kepunyaan putra kami. Kendaraan dikasih putra kami dan setiap bulan, anak-anak kami mentransferkan dana ke rekening kami. Mau apa lagi kalau bukannya bersyukur?
Maka kalau saya katakan bahwa saya tidak pernah tahu seperti apa rasanya "rumput tetangga itu lebih hijau", mungkin banyak yang tidak percaya. Padahal memang begitulah faktanya.
Malahan menyaksikan tetangga yang baru berusia 60 tahun, sudah jalan tertatih-tatih, kami justru ikut prihatin. Karena di usia menginjakan angka ke 77, kami berdua setiap hari keluyuran menikmati hidup.
Memaknai Hidup Sesuai Porsinya
Kita tidak perlu membanggakan apa yang ada pada kita. Sebab boleh jadi apa yang dibanggakan, bagi orang lain hanya uang recehan saja. Tapi kita juga tidak perlu membandingkan apa yang sudah kita capai dengan apa yang dicapai orang lain, karena porsi berbeda.
Bila hal ini dibiarkan menguasai diri kita, maka rasa syukur akan memudar, dan secara perlahan tanpa sadar kita akan menjadi orang yang tidak tahu mensyukuri apa yang sudah ada pada kita yang terlanjur terpana pada keberhasilan orang lain.
Setidaknya, filosofi "rumput tetangga lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri" tidak berlaku bagi saya pribadi.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H