Kami Menjadi Saksi Misteri Hidup
Membicarakan kejatuhan seseorang apalagi sampai menertawakannya, tentu saja merupakan sikap yang tidak manusiawi. Tetapi agar jangan lagi sampai ada korban berikutnya, maka perlu disampaikan tanpa menyebut nama-nama yang bersangkutan.
Sewaktu hidup kami masih morat marit, jangankan ikut sarapan pagi di kedai kopi, untuk sekedar singgah saja kami merasa sangat minder. Karena semua orang di kampung halaman kami di Padang tahu persis apa pekerjaan saya dan bagaimana kehidupan kami.
Kami hanya bisa mendengarkan cerita dari mulut ke mulut betapa bahagianya para pengusaha yang sukses pada waktu itu.
Menjadi tumpuan perhatian masyarakat dan di mana saja berada selalu dihormati.
Malahan salah seorang di antaranya, sebut saja namanya Donald, sangat royal mentraktir semua teman-teman yang ikut makan bersamanya.
Pokoknya, setiap orang yang ikut sarapan di Kedai Kopi yang sama dengan Donald, asal saja mau menyapa, "Selamat pagi Boss Donald.", maka tanpa perlu minta-minta, si Bos akan berteriak kepada yang jaga kedai "Nona, nanti semua tagihan ke saya saja ya"
Dan karena sudah menjadi tradisi, si Nona tidak perlu lagi bertanya, yang penting siapapun yang ditunjuk oleh Bos Donald, semua yang dimakan dan diminumnya, bahkan ada yang memanfaatkan kesempatan mengambil rokok sebungkus, semuanya dijadikan satu tagihan.
Bagi Boss Donald, semua itu hanya uang recehan. Maklum, bos ini pengusaha kayu sukses.
Kisah ini hanyalah satu dari sekian banyak orang sukses pada waktu itu di kampung halaman saya.
Kelak, kami juga beruntung bisa mengubah nasib dan juga menjadi Pengusaha. Namun, karena pernah mengalami bagaimana rasanya hidup bernafas dalam lumpur, maka walaupun sudah jadi pengusaha, kami tetap menjalani hidup sederhana.
Bukan berarti pelit, tapi tidak ikut meniru gaya hidup yang konsumtif hanya agar disanjung orang banyak.
Tahun 1990 kami pindah ke Jakarta, dan sejak itu jarang kontak dengan teman-teman di Padang. Apalagi kemudian kami pindah ke Australia.
Ketika beberapa tahun lalu kami pulang kampung  dan sarapan di kedai kopi langganan kami tempo dulu, kami sungguh sangat kaget mendapatkan kabar bahwa teman-teman saya yang dulu adalah bos besar, ternyata kini kehidupan mereka sangat memprihatinkan.
Malahan ada yang rumahnya sudah disita oleh bank karena tidak mampu mengembalikan uang pinjaman.
Lama saya terpana, ketika yang disebut bukan hanya nama Donald, tapi juga nama-nama lain yang dulu adalah para pengusaha sukses untuk ukuran kota Padang.
Sebagai sesama mantan pengusaha, tentu saja kami ikut prihatin. Tapi mana mungkin kami bisa menanggung beban hidup orang lain?
Karena itu, kami jadikan pelajaran hidup yang sangat berharga, agar selalu mawas diri dan jangan pernah mengikuti gaya hidup orang lain.
Karena, sesungguhnya yang mahal itu, bukanlah biaya hidup, tapi justru gaya hidup. Hingga kini, gaya hidup sederhana selalu kami terapkan setiap hari dalam perjalanan hidup.
Tak terbayangkan penderitaan teman-teman kami yang dulu berjaya semasa masih muda, kini setelah tua menjadi sosok yang mati daya, bahkan tidak berani lagi keluar rumah, karena malu.
 Semoga tulisan ini, dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semuanya, yakni kalau bisa hidup berhemat, mengapa harus boros?
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H