Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersyukurlah yang Menderita di Usia Muda, tapi Bisa Menikmati Hari Tua

31 Januari 2020   20:20 Diperbarui: 31 Januari 2020   20:26 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kerja keras di usia muda dan berhemat,agar di hari tua dapat menikmati hidup /dokpri

Kami Menjadi Saksi Misteri Hidup

Membicarakan kejatuhan seseorang apalagi sampai menertawakannya, tentu saja merupakan sikap yang tidak manusiawi. Tetapi agar jangan lagi sampai ada korban berikutnya, maka perlu disampaikan tanpa menyebut nama-nama yang bersangkutan.

Sewaktu hidup kami masih morat marit, jangankan ikut sarapan pagi di kedai kopi, untuk sekedar singgah saja kami merasa sangat minder. Karena semua orang di kampung halaman kami di Padang tahu persis apa pekerjaan saya dan bagaimana kehidupan kami.

Kami hanya bisa mendengarkan cerita dari mulut ke mulut betapa bahagianya para pengusaha yang sukses pada waktu itu.

Menjadi tumpuan perhatian masyarakat dan di mana saja berada selalu dihormati.

Malahan salah seorang di antaranya, sebut saja namanya Donald, sangat royal mentraktir semua teman-teman yang ikut makan bersamanya.

Pokoknya, setiap orang yang ikut sarapan di Kedai Kopi yang sama dengan Donald, asal saja mau menyapa, "Selamat pagi Boss Donald.", maka tanpa perlu minta-minta, si Bos akan berteriak kepada yang jaga kedai "Nona, nanti semua tagihan ke saya saja ya"

Dan karena sudah menjadi tradisi, si Nona tidak perlu lagi bertanya, yang penting siapapun yang ditunjuk oleh Bos Donald, semua yang dimakan dan diminumnya, bahkan ada yang memanfaatkan kesempatan mengambil rokok sebungkus, semuanya dijadikan satu tagihan.

Bagi Boss Donald, semua itu hanya uang recehan. Maklum, bos ini pengusaha kayu sukses.

Kisah ini hanyalah satu dari sekian banyak orang sukses pada waktu itu di kampung halaman saya.

Kelak, kami juga beruntung bisa mengubah nasib dan juga menjadi Pengusaha. Namun, karena pernah mengalami bagaimana rasanya hidup bernafas dalam lumpur, maka walaupun sudah jadi pengusaha, kami tetap menjalani hidup sederhana.

Bukan berarti pelit, tapi tidak ikut meniru gaya hidup yang konsumtif hanya agar disanjung orang banyak.

di Samarinda /dok.pri
di Samarinda /dok.pri
30 Tahun Kemudian

Tahun 1990 kami pindah ke Jakarta, dan sejak itu jarang kontak dengan teman-teman di Padang. Apalagi kemudian kami pindah ke Australia.

Ketika beberapa tahun lalu kami pulang kampung  dan sarapan di kedai kopi langganan kami tempo dulu, kami sungguh sangat kaget mendapatkan kabar bahwa teman-teman saya yang dulu adalah bos besar, ternyata kini kehidupan mereka sangat memprihatinkan.

Malahan ada yang rumahnya sudah disita oleh bank karena tidak mampu mengembalikan uang pinjaman.

Lama saya terpana, ketika yang disebut bukan hanya nama Donald, tapi juga nama-nama lain yang dulu adalah para pengusaha sukses untuk ukuran kota Padang.

di Kupang/dokpri
di Kupang/dokpri
Ternyata benar kata peribahasa, "Hidup berfoya-foya di kala muda, akibatnya mati daya di hari tua".

Sebagai sesama mantan pengusaha, tentu saja kami ikut prihatin. Tapi mana mungkin kami bisa menanggung beban hidup orang lain?

Karena itu, kami jadikan pelajaran hidup yang sangat berharga, agar selalu mawas diri dan jangan pernah mengikuti gaya hidup orang lain.

Karena, sesungguhnya yang mahal itu, bukanlah biaya hidup, tapi justru gaya hidup. Hingga kini, gaya hidup sederhana selalu kami terapkan setiap hari dalam perjalanan hidup.

ket,foto: pakaian yang kami gunakan dibeli di Tanah Abang dengan harga 100 ribu rupiah/dokpri
ket,foto: pakaian yang kami gunakan dibeli di Tanah Abang dengan harga 100 ribu rupiah/dokpri
Kami tinggal di Australia, tapi tetap hidup dengan gaya hidup sederhana, yakin jarang makan ke restoran, kecuali diajak anak mantu cucu atau kami kedatangan tamu dari Indonesia.

Tak terbayangkan penderitaan teman-teman kami yang dulu berjaya semasa masih muda, kini setelah tua menjadi sosok yang mati daya, bahkan tidak berani lagi keluar rumah, karena malu.

 Semoga tulisan ini, dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semuanya, yakni kalau bisa hidup berhemat, mengapa harus boros?

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun