Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tega Menghajar Anak Demi Menjaga Image?

23 Januari 2020   18:44 Diperbarui: 23 Januari 2020   18:52 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : https://www.gettyimages.com.au/photos/violence-against-children

Akibatnya Akan Dirasakan di Kala Usia  Menua 

Mengutip kata orang pintar,

"Jangan hanya belajar dari kesuksesan seseorang ,tapi belajarlah juga dari kegagalan orang lain,agar jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukannya."

Kalimat ini sudah saya baca dan dengar sejak dari masih duduk di SMP dan tak akan pernah dilupakan karena belajar dari kegagalan seseorang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan belajar dari kesuksesan orang. Siapa yang pertama kali mencetuskan kata kata bijak ini? Sungguh saya tidak tahu. Yang jelas bukan diri saya.

Tetangga Saya Orang Terpandang

Menceritakan aib orang lain tentu bukanlah hal yang baik, tapi terkadang perlu dibukakan agar jangan sampai aib yang menimpanya kelak menimpa juga diri orang lain. Tentu saja, tidak dengan menyebut nama atau apapun yang dapat mengarah kepada sosok dimaksudkan. Nah, kalau mengambil nama acak, bisa saja ada orang lain yang namanya serupa hingga menyebabkan rasa tidak nyaman bagi dirinya. Karena itu kita sebut saja namanya "Pak Disiplin"

Kalau di era modern, istilah KB artinya Keluarga Berencana, maka di zaman dulu, KB artinya keluarga besar. Dalam keluarga saya, kami total 11 orang bersaudara, yang semuanya terlahir dari satu ayah dan satu ibu. Begitu juga para tetangga, anak-anak mereka berkisar antara 7 hingga 12 orang. Bahkan ada yang total 14 orang, semuanya terlahir dari orang tua yang sama.

Mempertontonkan Ketika Menghukum Anak

Yang namanya anak-anak,biasalah terlibat kenakalan. Di samping berkelahi juga terkadang mencuri jambu atau mangga tetangga. Bukan karena lapar tapi sering kali hanya karena iseng karena dinilai tetangga pelit terhadap anak-anak. Dan salah satu dari anak nakal tersebut adalah yang menulis artikel ini. Benar, saya pernah mencuri sekali dalam hidup saya, yakni ketika masih di kelas 3 SD, yakni mematahkan pagar bambu tetangga untuk dibuat layangan. Akibatnya, tangan saya sobek, sehingga tampak dagingnya memutih sesaat sebelum darah membasahi seluruh telapak tangan saya.

Sakit nggak ya? Ya iyalah, sakit banget. Tapi mau menangis, takut ketahuan. Akhirnya saya lari ke dapur dan ibu saya kaget dan langsung membalut telapak tangan saya dengan membubuhi bawang yang ditumbuk dengan gula pasir. Tapi ternyata entah dari mana, tiba-tiba ayah saya sudah berdiri di belakang saya. Dan dengan marah, mengatakan, "kita memang orang miskin, tapi kita bukan keluarga maling,mengerti?! Ayo ,cepat pulangkan kembali dan minta maaf. Tapi kejadian tersebut hanya saya dan ibu saya dan tentu saja ayah saya yang tahu.

Demi Jaga Image sebagai Orang Tua Disiplin

Suatu waktu, giliran anak pak Disiplin tetangga kami yang mencuri jambu. Terus oleh si Encim hanya menegur, " Hai anak-anak, kalau mau minta dan Encim pasti kasih pada kalian. Jangan mencuri begitu, tidak baik ya." Ternyata teguran ini terdengar oleh Pak Disiplin, maka kedua anaknya yang menuri jambu tetangga di telanjangkan di halaman rumahnya. Diikat di tiang dan dicambuk dengan ikat pinggang hingga berdarah darah.

Ketika si Encim tidak tega menyaksikan datang dan mengatakan, "Pak Disiplin, jangan anak dihajar kayak gitu, saya tidak marah, hanya menasihati  mereka saja." Tapi Pak Disiplin semakin marah dan menghajar anak-anaknya lebih keras lagi, sambil berkata dengan suara keras, "Jangan ikut campur saya mendidik anak saya, mengerti!?" Bahkan ketika istrinya meratap memohonkan ampun bagi anak-anaknya, malah dibentak, "Masuk ke dalam atau kau pergi dari rumah ini."

Semua anak-anaknya diperlakukan seperti itu, setiap kali mereka kedapatan nakal, entah mencuri jambu ataupun berkelahi dengan teman-teman sesama tetangga. Dan tak seorang pun tetangga yang berani datang menegur, karena Pak Disiplin terkenal sebagai orang terpandang, karena kedudukannya dalam perusahaan.

Menua dan Mati Kesepian

Setiap orang suatu waktu pasti akan menua, termasuk Pak Disiplin yang garang dan bertampang sangar. Satu persatu anak-anaknya meninggalkan dirinya dan merantau ke berbagai kota. Dan ketika ibu mereka meninggal, semua anak-anak datang menjenguk. Namun kelak, ketika ayah mereka tergeletak sakit, tak satupun dari anak-anaknya yang pulang menjenguk. Bahkan hingga Pak Disiplin meninggal dunia, hanya anak perempuannya saja yang pulang.

Kejadiannya sudah lama berlalu, tapi pelajaran hidup yang dapat dipetik dari kejadian ini, mungkin dapat menjadi catatan penting bagi kita sebagai orang tua atau calon orang tua agar jangan karena ingin menjaga image sebagai sosok orang terpandang, bersikap arogan terhadap anak-anak. Jangan lupa anak-anak merekam semua kejadian yang melibatkan mereka dan tak akan pupus hingga mereka dewasa.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun