Apa Yang Sesungguhnya Terjadi ?
Bagi yang uangnya banyak,maka cara untuk menerapkan hidup berbagi adalah dengan jalan berbagi rezeki pada orang yang membutuhkan.Tapi karena saya sudah pensiun dan masa menjadi Sinterklas sudah lewat,maka yang dapat saya bagikan hanyalah cuplikan kisah hidup. Yang mungkin saja terkadang membosankan,karena tulisan saya bagaikan kakek kakek yang bercerita untuk cucu cucunya. Tapi bukankah lebih baik berbagi walaupun manfaatnya kecil,ketimbang tidak berbuat apapun? Kira kira begitu cara dan gaya saya menghibur diri,bila tulisan saya hanya dilewati saja.
Kembali  Ke Judul Tulisan
Karena dilahirkan sejak zaman Dai Nippon,maka gaya menulis saya  masih terbawa gaya kuno,yakni kesana kemari bercerita ,baru membahas tentang pokok tulisan. Nah, ibarat parang yang senantiasa digunakan,namun tidak pernah punya waktu untuk mengasahnya,maka secara tanpa sadar,lama kelamaan parang menjadi tumpul dan tidak lagi berfungsi secara maksimal.Parang yang dulu dapat dimanfaatkan untuk memotong dahan kayu hanya dengan sekali tebas,kini harus menguras tenaga,bila menggunakannya.Â
Bila analogi ini,dijadikan kilas balik dalam kehidupan,maka diri saya adalah salah satu,yang telah keliru memaknai arti :"kerja keras,tanpa kenal lelah" Saking antusiasnya melakukan pekerjaan ,demi untuk mengejar impian demi impian hidup kami, saya pernah terjerumus pada kondisi yang menakutkan,yakni :"lupa diri " Kata :"lupa diri" saya tulis di antara tanda kutip,karena yang dimaksud bukan amnesia atau demensia ,maupun Alzheimer,melainkan merasa asing pada diri sendiri.
Home Sweet Home Tenggelam
Saking terobsesi mengejar impian,saya sungguh lupa diri.Kerja siang malam,bukan hanya sebatas sebutan,melainkan sungguh sungguh saya praktikkan. Pulang dari kantor,dirumah saya masih kerja terus ,memotong kulit manis,membersihkan dan mengeringkan dan seterusnya. Lama kelamaan saya kehilangan jati diri. Tiba tiba saja,saya sadar,bahwa saya sudah jadi pemarah dan cepat tersinggung,akibat kurang istirahat dan  terlalu memaksa diri.
Sikap saya berubah .Wajah berubah jadi serius dan hanya berbicara satu dua kata saja. Anak anak menjadi heran,terhadap perubahan sikap saya yang bertolak belakang dari biasanya.Istri saya sangat sedih menyaksikan perubahan sikap saya yang bertolak belakang dari sifat saya.Dan suatu malam berbisik pada saya :"Kalau masih sayang pada saya,kembali menjadi sosok yang dulu .Kami perlu uang,tapi kami jauh lebih membutuhkan kasih sayang" Kini, "home sweet home" seakan sudah tidak ada lagi dalam rumah ini." Saya tersentak,menengok istri saya menangis .
Saya bersyukur istri saya sudah menyadarkan saya ,sebelum semuanya terlambat Dan mulai merenungkan:
- mengapa saya bisa menjadi seperti ini?
- mengapa sifat saya berubah?
Perlu Menyediakan Waktu Mengasah Batin
- Sejak itu,saya mulai menyediakan waktu untuk melakukan introspeksi diri:
- apa yang saya cari dalam hidup ini?
- apalah arti semua pencapaian secara materi,bila anak anak dan istri saya merasa asing terhadap diri saya?
- bukankah tujuan awal saya kerja keras,demi membahagiakan anak istri?
Sejak saat itu,saya mulai berbenah diri dan kembali kepada diri saya yang sejati. Semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya bagi para pembaca
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H