Sempat kaget ketika membaca naskah tersebut mas Subagijo mencoret coret sana sini. Sempat hati saya menciut. Tapi setelah membaca selang sekitar 30 menit, mas Subagijo memandang saya dan berkata: "Kontennya bagus, tapi harus banyak di edit."
Senang sekali saya dengar perkataan ini. Yang penting"Bagus!" mengenai diedit, sama sekali tidak masalah bagi saya. Seingat saya, ada 6 kali saya bolak balik menemui mas Subagijo.
Senangnya Menandatangani Kontrak Kerjasama
Selang seminggu saya ditelepon,untuk datang lagi menemui mas Subagijo. Begitu bertemu, saya langsung disalami dengan ucapan: "Selamat pak Effendi, buku akan segera diterbitkan. Mohon ditandatangani kontrak kerjasama kita." Maka tanpa merasa perlu untuk membaca isinya, langsung saya tanda tangani.
Pesan mas Subagijo: "Kalau pak Effendi serius mau jadi Penulis buku,jangan tunggu hingga buku  terbit. Begitu naskah diserahkan, siapkan lagi naskah buku yang lainnya."Â
Buku pertama, mengalami cetak ulang hingga 15 kali dan begitu juga ke 8 judul buku lainnya, juga dicetak berulang kali. Hasil royalty yang saya terima  dan masuk ke rekening BCA saya, tidak pernah saya gunakan.Â
Setelah terkumpul sejumlah sekitar 225 juta rupiah (dua ratus dua puluh lima juta rupiah), saya ajak istri saya keliling Eropa untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 40 pada waktu itu.
Buku Best Seller, Beda dengan Buku Best Writer
Sebagai informasi, buku  best seller, dinilai dari sudut bisnisnya. Mengenai tata bahasa, tentu akan berbeda dengan buku Best Writer, yang kata perkata ditulis dalam tata bahasa yang apik dan kosa kata yang ciamis.
Sejujurnya, buku karya tulis saya yang menjadi National Best Seller, kalau saya menilai dengan angka,hanya mendapatkan point angka 65 ,karena menggunakan bahasa yang sangat sederhana,bahkan terkesan kampungan.Â
Tapi justru  kelemahan dalam bertata bahasa indah ini, menjadi kekuatan. Karena rata rata pembaca,lebih senang membaca tulisan yang mudah dipahami,ketimbang harus cari di google, arti kata dari kalimat yang dibaca.Â