Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keberhasilan Sering Menyebabkan Orang Lupa Diri

24 September 2019   17:52 Diperbarui: 24 September 2019   18:05 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberhasilan Patut Disyukuri, tapi Tidak Perlu Menonjolkan Diri

Ketika nasib kita berubah dari sosok yang selama ini tidak dipandang sebelah mata menjadi sosok yang dihargai di mana-mana, tentu saja menghadirkan rasa suka cita yang patut disyukuri. Sayang sekali, banyak orang yang setelah sukses melepaskan diri dari keterpurukan dan hidup dalam kecukupan sering kali lupa diri. Di zaman dulu, dikenal dengan istilah "O.K.B" atau Orang Kaya Baru yang menampilkan perilaku yang mencolok dalam pandangan mata tetangganya. 

Maklum selama ini untuk makan saja terpaksa ngebon di warung, tapi kini saking kelimpahan rezeki maka apapun dibeli. Dan tidak hanya sebatas itu, tetapi gaya hidup juga mendadak berubah total. Kalau dulu, setiap kali berpapasan dengan tetangga ataupun kenalan selalu menyapa dengan santun. Tapi kini, merasa diri sudah sukses, merasa cukup menyapa secara asal-asalan. Kalau bertemu teman lama, maka tanpa diminta dengan bangga akan menceritakan segala pencapaiannya. Sejak beli kendaraan seharga ratusan  juta dan rumah baru yang bernilai miliaran rupiah.

Pengalaman Pribadi

Sahabat baik dan sekaligus tetangga sewaktu masih muda, sebut saja namanya  Baron, sudah lebih dari 50 tahun kami tidak pernah bertemu dan putus kontak. 

Suatu waktu, saya dapat nomor telepon Baron dari salah seorang keponakan saya. Maka dengan hati berbunga bunga saya mencoba menelpon. Alangkah senang rasanya dapat mendengarkan suara sahabat saya yang sudah lebih dari 50 tahun tidak pernah bertemu lagi karena Baron sering bepergian ke luar negeri. Pertama yang ditanyakan adalah: "Apa usaha sekarang pak Effendi?" 

Dan saya jawab: "Saya sudah lama pensiun. Kini saya dan istri menumpang hidup pada anak di Australia." 

"Ooo.. Saya baru saja beli 2 unit apartemen di Perth, untuk kedua anak saya yang kuliah di sana. Ternyata harga rumah di Australia jauh lebih murah dibanding di Jakarta ya Pak. Saya kasihkan ke anak saya, masing-masing satu.. Rencananya mau beli satu satu unit untuk refreshing kapan kami libur ke Australia. Dan seterusnya dan seterusnya..."

Selama pembicaraan, saya hanya kebagian menjawab satu saja pertanyaan dan selanjutnya sahabat bagi saya Baron yang menceritakan keberhasilannya. Sebagai seorang sahabat, tentu saja senang mendengarkan bahwa sahabat saya berhasil. Tapi suasana hati saya yang tadinya meluap luap saking senangnya, mendadak bagaikan bara api tersiram hujan lebat.. 

Baron lupa menanyakan, bagaimana keadaan saya dan istri? Anak cucu sehat? Karena seluruh rangkaian pembicaraan 99,9 persen adalah menceritakan kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil diraihnya? 

Iri hatikah saya? Tentu saja tidak. Karena kendati kondisi kami jauh dari sebutan: "kaya", tapi kami tak henti hentinya bersyukur kepada Tuhan bahwa kami diberikan hidup berkecukupan. 

Berbicara Itu Ada Seninya

Bisa jadi akibat luapan rasa sukacita maka begitu ada kesempatan bertemu sahabat lama,maka secara tanpa sadar telah mencurahkan seluruh ungkapan rasa bangga akan keberhasilan yang sudah diraihnya. Namun sesungguhnya untuk berinteraksi dengan orang lain, termasuk sahabat baik kita, ada seni berbicara yang hendaknya dijadikan pegangan, yakni memberikan kesempatan kepada lawan bicara kita untuk berbicara. Hindari memonopoli pembicaraan karena mengakibatkan hubungan yang selama bertahun tahun dibina akan memudar dan tawar.

Ada hal yang jangan sampai dilupakan bahwa apa yang bagi kita sesuatu yang "wow" dan membanggakan, boleh jadi  bagi orang lain hanyalah hal tidak berarti. Sejumlah uang yang bagi kita sangat menakjubkan, ternyata bagi orang lain boleh jadi hanya uang recehan.

Bangga tentu saja boleh, tapi tentu harus tahu hingga di mata batasnya. Semakin tinggi kita menonjolkan diri hanya akan mempertinggi tempat kita jatuh. 

Ibarat kalau berjalan di tempat datar, seandainya suatu waktu tergelincir kita bisa langsung bangkit berdiri lagi. Tapi kalau kita berjalan di tempat yang tinggi maka sekali jatuh kita sudah tidak mungkin bisa bangkit lagi.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun