Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Susah Itu Tak Ada Gunanya, tapi Mengapa Kita Masih Susah?

7 September 2019   08:13 Diperbarui: 7 September 2019   22:52 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buat Apa Susah
Ada lirik lagu yang mungkin bagi sebagian orang terkesan "kampungan". Salah satunya adalah lagu, "Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya!"

Sesungguhnya kita semua sudah tahu dan memahami dengan sangat bahwa membiarkan hati kita larut dalam perasaan sedih dan susah tak akan mengubah apapun. Malahan sebaliknya, dengan bersusah hati kita sudah tidak lagi mampu berpikiran jernih.

Hati yang susah akan tercermin di wajah kita. Pandangan mata yang sayu, kening berkerut, dan wajah yang sangat tidak enak dipandang akan membiaskan energi negatif kepada orang-orang di sekitar kita. 

Sebagai akibat langsung yang dapat dirasakan, adalah orang enggan menyapa, apalagi berbicara dengan kita. Kata peribahasa Cina, "Orang pemurung akan dijauhi hoki". Artinya, wajah yang murung dan kening yang berkerut menyebabkan rezeki menjauhi kita.

Logika sederhana, kita lebih senang berbelanja ke toko yang pelayannya berwajah ceria ketimbang berbelanja ke toko, di mana orang yang bertugas melayani wajahnya sangat tidak enak ditengok dan tidak antusias melayani pembeli.

Takaran yang bersifat universal dan alami adalah, "Bila kita tidak suka dilayani dengan wajah muram dan tanpa senyum. maka jangan pernah lakukan juga terhadap orang lain. 

Tampak Sepele, Tapi Menentukan Jalan Hidup Kita
Hal yang tampak sangat sepele sehingga sering dilupakan orang, yakni menjaga suasana hati. Sebagai contoh sederhana bila hati kita senang, maka makan di warung bawah tenda juga terasa sangat nikmat. Minum secangkir kopi yang harganya 5 ribu rupiah, juga enak.

Begitu juga dengan hati yang damai dan senang, kita bisa terlelap pulas di kereta api yang sedang melaju. Tapi ketika suasana hati kita susah, entah karena alasan apapun, tidur di hotel mewah yang kasurnya terdiri dari spring bed jutaan rupiah, tetap saja gelisah.

Hal ini saya rasakan ketika gempa bumi di kampung halaman saya di Padang, sementara kami sedang berada di Tokyo. Mencoba menelpon berulang kali, tetap saja tidak menyambung, maka hati saya sangat susah.

Hingga larut malam, saya gelisah dan tidak bisa tidur, walaupun pada waktu itu kami menginap di hotel. Hingga keesokan harinya ketika sarapan saya sama sekali tidak dapat menikmati makanan pagi.

Padahal dengan bersusah hati, saya sudah menyebabkan istri dan anak-anak kami jadi ikut murung menyaksikan keadaan saya. Padahal untuk ke Jepang tidak murah, tapi sepanjang hari menjadi rusak hanya karena hati saya susah.

Kata Orang Kami Sudah Kenyang Makan Asam Garam Kehidupan
Kata orang, saya dan istri dalam usia sudah melampaui tiga perempat abad adalah manusia yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Jadi seharusnya, memahami bahwa "hati susah" selain tak ada gunanya, malah memperburuk keadaan dan menyebabkan orang dekat kita juga ikut susah.

Nah, pertanyaannya, walaupun sudah tahu bahwa hati susah itu tidak ada gunanya, mengapa kita masih tetap susah ketika mendengarkan berita duka?

Mohon jawaban dan terima kasih.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun