Lalu kalau saya bertanya kepada diri saya sendiri,apakah saya berbahagia?
Jawaban sejujurnya :"Benar saya berbahagia, didampingi wanita yang telah membuktikan cinta dan kesetiaannya dalam suka dan dalam duka. Dalam untung dan malang Kebahagiaan saya dilengkapi dengan kasih sayang anak anak dan cucu cucu, serta mantu cucu kami serta disayangi begitu banyak orang di dunia ini".
Benarkah saya sudah berbahagia sepenuh hati? Disaat saat saya merasa amat berbahagia, tiba-tiba saya ingat cucu kami yang terpencar di Perth, Wollongong, Sydney, Jakarta, dan di Jepang, hati saya mendadak menjadi sedih.
Entah kapan saya dan istri bisa bertemu dengan mereka semuanya atau kemarin, tanggal 22 Agustus saya ingat adik saya Firdaus Effendi yang berulang tahun, tapi ia sudah meninggal beberapa tahun lalu dan kebahagiaan saya meredup.
Ternyata hidup itu tidak seperti kisah Cinderella ataupun kisah Aladin. Ada saat saat dimana kita merasa sangat berbahagia, tapi tidak jarang kebahagian ternoda oleh berbagai masalah hidup yang dihadapi.
Atau mungkinkah karena saya termasuk tipe orang yang baperan? Sementara orang lain dapat merasakan kebahagiaan seutuhnya? Saya sungguh tidak dapat menjawabnya. Mungkin ada yang bisa membantu menjawabnya?
Hanya sebuah renungan di pagi hariÂ
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H