Sehingga tulisan yang awalnya hanya dibaca ratusan orang saja mendadak sontak menjadi 7.000 (tujuh ribu ) Pembaca. Sejujurnya tentu saja saya sangat senang.
Masih dalam pembicaraan via telepon, saya sempat menanyakan apa hubungan antara tulisan saya dengan doa:"semoga mendapatkan hidayah? Yanti tertawa, sambil menjawab :" Hmm itu Opa..hubungan sudah sangat baik, dengan orang sekampung... tinggal satu langkah lagi. Dan lagi-lagi Yanti ketawa."Â
"Hai anak manis, dari tadi ngomong mutar-mutar mau bikin Opa pusing ya?" Benar benar generasi mileneal. Ditegur malah semakin ketawa. Maka saya tidak ingin merusakkan hatinya yang sedang gembira. Maka saya alihkan pembicaraan ke hal lain. Sebelum menutup telepon, Yanti masih berpesan :" Opa, santai saja. Apapun doa orang, hanya satu jawabannya yakni:"Amin", sambil lagi lagi ketawa.Â
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala ternyata zaman sudah berubah. Dulu Kakek Nenek memberi nasihat kepada cucu-cucu dan keponakan cucu. Kini malahan cucu yang memberi nasihat.
Berdasarkan pengalaman berbicara via telepon dengan Yanti yang menjawab sambil ketawa melulu,saya merasa tidak perlu bertanya lagi mengapa begini dan mengapa begitu? Yang penting, siapapun yang mendoakan saya jawab :"AMIN" Daripada pusing mikirin Semakin banyak yang berbaik hati mau mendoakan diri kita, tentu saja semakin baik. Apapun doanya jawabannya adalah AMIN.
Hanya sebuah renungan menjelang tidur. Ditulis jelang tengah malam dan baru dipostingkan pagi ini.
catatan: Dalam keluarga besar kami, terdiri dari beragam suku ,ada orang Minang, Jawa, Batak, Nias, Italia, Australia, Belanda, German dan seterusnya. Dan tentu saja juga berbeda latar belakang pendidikan, agama dan budaya. Kami berbeda, tapi kami hidup rukun dan damai dalam keberagaman, dari dulu, kini dan selanjutnya.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H