Bila Sudah Menua Baru Sadar, Maka Semuanya Sudah Terlambat
Kesempatan pulang kampung dan bertemu dengan teman teman lama, serta tetangga tempo dulu sangat mengasyikan. Tetapi sesungguhnya dibalik rasa gembira dapat kesempatan temu kangen dengan sahabat  dan tetangga yang sudah tidak terbilang tahun tidak pernah ketemu, ada rasa perih dan pedih dalam hati.Â
Menyaksikan bahwa beberapa diantaranya masih menjalani ritual kehidupan, seperti puluhan tahun lalu. Terus apa salahnya kalau orang mau menjalani hidup seperti tempo dulu? Tentu tulisan ini tak hendak mencari kesalahan orang lain, apalagi sampai tega menghakimi sahabat sendiri.Â
Masalahnya ada rasa iba membayangkan hidup seperti apa yang kelak mereka jalani, bila sudah tidak mampu lagi bangun setiap jam 4.00 subuh, untuk mempersiapkan cendol, lontong, dan beragam kue agar bisa dijual ketika pagi tiba?
Bangun jam 3 atau jam 4.00 subuh setiap hari dan mulai bekerja keras di dapur, bukanlah perkara mudah. Karena kami sudah mengalami hidup semacam ini selama tujuh tahun, walaupun versinya berbeda. Sarapan pagi yang bergizi? jangan mimpi! Paling hanya segelas teh hangat dan sepotong pisang rebus.Â
Hanya Untuk Rp.50.000 Sehari
Berapa hasil kerja keras sejak dari matahari masih terlelap hingga malam tiba? Kalau lagi beruntung ya sekitar Rp.50.000.-rata rata  per hari. Lontong terjual 20 bungkus sehari, cendol laris 10 bungkus plastik dan serba serbi kue kue sekitar belasan potong. Itupun kalau hari tidak hujan.Â
Kalau hari hujan, maka air tidak hanya turun dari langit tapi juga mengalir dari mata. Terus mengapa mereka masih mau bertahan hidup dalam kondisi seperti ini? Bagaimana kelak, kalau sudah tidak kuat lagi bangun subuh setiap hari?
"Dengan jualan begini, setidaknya kami sudah bisa menyekolahkan anak anak dan bisa cukup makan, serta bayar rekening listrik Om. Dulu orangtua kami membesarkan kami juga dengan jualan seperti ini " kata Doni, anak tetangga kami yang dulu sering main dengan anak kami dan kini sudah berusia 50 an tahun dan sudah punya anak dua, berjualan menggantikan ayahnya sahabat saya yang sudah 11 tahun lalu meninggal.
Istrinya hanya keluar sesaat dan setelah menyalami kami berdua, terus sibuk di dapur Sementara ibunya hanya bisa membantu dengan duduk melayani tamu yang akan berbelanja, karena sudah tidak kuat lagi berdiri. "Cari kerja tidak gampang Om. Yang perlu bisa hidup masalah nanti terserah Tuhan saja Om"
Hanya Salah Satu Dari Sekian Banyak
Seperti juga halnya dengan Doni, ada banyak orang yang sangat ingin menemukan titik balik dalam kehidupan mereka tapi tidak tahu bagaimana menemukannya.Â
Sudah berusaha kesana kemari untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan, tapi hasilnya sia-sia, karena tidak memiliki kemampuan khusus dan hanya mengandalkan tenaga saja. Â Apakah tidak ingin memperluas usaha jualan lontong dan kue dengan membuka warung nasi ? Tentu saja mereka ingin, tapi tidak ada modal.Â
Yang Penting Bisa Menghidupi Anak Istri
Kalau orang sudah berprinsip "Yang penting bisa menghidupi anak istri ", tentu saja kita tidak berhak untuk merecoki jalan hidup orang, walaupun sahabat atau tetangga  baik, Dan seberapa besarnya hasrat hati untuk membantu,tentu saja tidak mungkin dapat memikul beban hidup orang lain.Â
Yang dapat dilakukan adalah membantu sesuai kemampuan diri. Pola pikir seperti inilah yang menyebabkan orang tidak antusias untuk berupaya mencari titik balik kehidupan, karena terpancang pada pemikiran:" Orang tua kami dulu membesarkan dan menyekolahkan kami, hanya dengan jualan di rumah. Maka untuk apa kami mencari kerja lain, yang belum tentu hasilnya?"
Perlu Open Minded
Untuk dapat mengubah pola berpikir seperti ini, diperlukan "open minded". Tidak harus ada hal-hal spektakuler untuk menemukan titik balik dalam kehidupan kita.Â
Karena dengan membuka pikiran kita, maka kita akan mampu menemukan :"turning point" demi untuk masa depan yang lebih baik. Kalau seandainya, saya ikut terpancang pada pola pikir:" Dengan jualan kelapa, saya bisa menghidupkan anak istri"maka kemungkinan kami masih tinggal di pasar kumuh.
Kapan sebaiknya mulai mencari cara untuk menemukan "turning point " atau titik balik dalam kehidupan kita? Tentu sedini mungkin. Karena kalau sudah menua baru berhasrat untuk menemukan, sudah terlambat untuk mengawali semuanya.Â
Sekali lagi, jangan terbuai dan terlena dalam cara berpikir:"Yang penting anak istri bisa hidup". Karena suatu waktu ketika kita sudah tidak mampu lagi bekerja, untuk dapat melanjutkan hidup masih terus membutuhkan biaya. Pikir sebelum terlambat, sangat bermanfaat.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H