Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Netizen Ketularan Latah Politikus?

16 Juli 2019   18:20 Diperbarui: 16 Juli 2019   19:00 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang tadi, sambil menunggu pesanan nasi goreng yang kami pesan di salah satu restoran oriental, maka untuk mengisi waktu saya mulai membaca dan menjawab satu persatu pesan WA yang dianggap penting. Kalau hanya masukan dari aneka ragam berita yang di-share, saya tempatkan di prioritas nomor dua.

Salah satu dari sekian banyak pesan WA yang masuk, ada yang menarik perhatian saya. Pertama karena pengirimnya sudah cukup sering saling berinteraksi, baik melalui komentarnya di laman facebook maupun di berbagai tulisan saya.

Mungkin karena usianya masih muda, maka seperti kebanyakan netizen, Hardi  memanggil saya dengan sebutan Opa. Sejujurnya saya senang dipanggil dengan sebutan tersebut, mengingat kami sudah bercucu 11 orang. Tapi kali ini pesan Hardi terasa agak menohok, "Opa netizen sudah ketularan latah politikus ya?" 

Karena termasuk tipe orangtua yang baperan, sejujurnya saya merasa tidak nyaman mendapatkan pesan ini. Maka saya langsung bertanya, "Selamat sore Hardi, maaf saya juga salah seorang netizen, tapi walaupun usia sudah menginjak ke angka 77 tahun, saya sama  sekali tidak latah."

Dalam hitungan detik, masuk jawaban dari Hardi, "Aduh, mohon maaf Opa, bukan Opa yang saya maksudkan. Saya hanya menyampaikan kegalauan hati saya membaca tulisan netizen belakangan ini, sangat kental dengan gaya politikus. 

Dulu Disindir, Kini Dipuja
Opa masih ingat semasa hangatnya Pilpres? Kedua tokoh ini bagaikan angin puting beliung. Ke mana saja berhembus, pasti menyebabkan terjadi kerusakan, karena seperti halnya angin puting beliung tidak dapat diprediksi arahnya. Bisa menyerempet ke mana-mana. Maka hujan kecaman turun dengan lebat, yang ditujukan kepada kedua orang tokoh ini.

Tapi mendadak, dalam seminggu ini, bagaikan terkena sihir, banyak netizen yang lupa diri dan berubah total. Dari mengecam menjadi memuja setinggi langit, dengan memberikan julukan "pahlawan demokrasi". Negarawan tulen dan tokoh panutan yang perlu diminta saran dan pendapatnya. Biasanya yang berbicara berubah-ubah setiap saat adalah politikus, tapi kini malah netizen ikut jadi latah?

Pesan WA Lebih Panjang Dibandingkan Artikel
Karena pesanan nasi goreng seafood yang kami pesan sudah dihidangkan di depan mata, ditambah dengan udara dingin yang membuat perut menjadi binal dan tidak terkendali, maka saya tidak lagi melanjutkan membawa kuliah gratis dari sosok yang bernama Hardi ini. Saya tutup dengan jawaban:

Terima kasih, Hardi. Mohon maaf saya tidak ikut terlibat dalam hal puji memuji ini. Yang penting sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita bersyukur bahwa  kedua tokoh dimaksud, walaupun anda tidak menyebut namanya, tapi saya maklum siapa yang dimaksud, sudah bersalaman. Petanda baik bagi kita semuanya bahwa langkah ini merupakan awal dari kebangkitan negeri kita. 

Untuk urusan sindir-menyindir atau latah-melatah biarkanlah masing-masing orang menulis sesuai panggilan hatinya. Kita tidak perlu harus ikut campur. Terima kasih dan salam hangat.

Syukurlah "diskusi online" ini tidak dilanjutkan lagi, sehingga saya dan istri bisa menikmati nasi goreng seafood, sepiring kami makan berdua.

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun