Diskriminasi yang paling kejam bukanlah membedakan orang berdasarkan warna kulit dan agama.,melainkan menilai orang per orang berdasarkan latar belakang sosialnya.Â
Walaupun tidak sesuku bukan sebangsa bahkan beda agama, tapi kalau yang berdiri di hadapan adalah orang kaya atau tokoh terkenal maka biasanya orang akan menghargai kehadirannya.Â
Sebaliknya walaupun sesuku sebangsa dan setanah air, tapi karena latar belakangnya :"hanyalah "seorang Sopir atau Tukang Becak maupun Pembantu Rumah Tangga, maka kehadirannya sama sekali tidak dirasa perlu untuk dihargai sebagai sesama manusia.
Judul diatas mungkin terasa sangat tajam  bagi sebagian orang,karena selama ini menganggap bahwa praktik :"kasta" hanya merupakan peninggalan zaman feodal dan masyarakat kita sudah steril terhadap apapun yang berbau "Kasta" Kasta berasal dari  "Casta" bahasa Spanyol.Â
Casta artinya jenjang atau tingkatan yang terjadi dalam hierarki masyarakat. Mendengar kata "Kasta"maka anak-anak SD juga tahu, bahwa dalam  agama Hindu merupakan dinding-dinding yang memisahkan atau membagi masyarakat ke dalam empat tingkatan, Yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.Â
Pembantu Rumah Tangga dan Sopir Pribadi Dianggap Tidak Selevel
Tapi kalau kita mau jujur,cobalah tengok disekeliling bahkan jangan jangan praktik "kasta " ini malahan terjadi di depan mata kita. Contoh aktual ,berapa banyak masyarakat kita yang sudah membiasakan diri, untuk duduk makan semeja dengan pembantu rumah tangga atau dengan sopir pribadi?Â
Cobalah perhatikan, setiap kali ada kendaraan berhenti di restoran maka Boss dan nyonya serta keluarga masuk ke restoran dan duduk makan.
Sementara Sopir pribadi menunggu di kendaraan atau paling diajak makan, tapi duduk di meja terpisah. Karena Sopir tidak dianggap selevel dengan boss ,makanya tidak layak duduk makan semeja.
Orang dengan penghasilan Rp.15 juta rupiah per bulan,biasanya sudah mampu menggaji Pembantu Rumah Tangga, walaupun belakangan ini istilah diperhalus dengan "Asisten  Rumah Tangga", hal ini hanya pemanis dimulut saja.Â
Karena Pembantu Rumah Tangga,tetap saja berada di level paling bawah dan tabu ,bila duduk makan bersama sama Tuan dan Nyonya rumah. Untuk makan Pembantu, biasanya di sendokkan oleh Nyonya Rumah dan mereka duduk makan didapur.Â
Ini hanya sekedar contoh nyata ,tanpa perlu melakukan research,karena dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri
Zaman Feodal Sudah Berlalu ,Tapi Praktiknya Masih Terus Dilestarikan
Pada awalnya,masyarakat kota Padang heran menyaksikan Pembantu Rumah tangga kami, duduk makan semeja bersama kami. Bahkan kalau kami menggunakan jasa Sopir dalam perjalanan jauh, maka ketika tiba saat makan siang ataupun makan  malam maka Sopir kami ajak  makan bersama dan duduk semeja. Mula mula kami dianggap aneh, tapi lama kelamaan sudah ada beberapa orang yang juga meniru gaya ini.
Begitu juga bilamana Karyawan bagian produksi, kerja lembur hingga malam hari karena harus memburu waktu keberangkatan barang yang akan diekspor maka saya duduk lesehan bersama mereka,makan nasi bungkus.Â
Pendekatan pendekatan manusiawi ini,menciptakan hubungan batin yang tak lapuk dimakan waktu. Hingga kini, walaupun kami sudah bukan lagi pengusaha tapi mantan karyawan kami sangat antusias untuk bisa bertemu dengan kami dan makan bersama.
Anak Cucu Kami semuanya mengikuti jejak kami. Mereka menjalin hubungan pertemanan tanpa memandang selevel atau tidak selevel. Bahkan di Australia, kami duduk makan semeja dengan Cleaning Service yang datang mengepel lantai dan mencuci toilet dirumah putri kami.Â
Kami bersahabat dengan pejabat, Menteri, jenderal tapi sahabat kami juga ada tukang becak dan tukang kebun, serta Sopir taksi.
Bersahabat dengan pejabat dan orang kaya, bukan berarti secara serta merta menaikan"level" kita sebaliknya,bersahabat dengan tukang becak, sopir dan tukang kebun, juga tidak akan menurunkan "derajat "kita. Karena sesungguhnya ,kita semuanya selevel. Yang membedakan,hanyalah prilaku dan sikap mental kita.
Tulisan ini hanya sebuah renungan pribadi,bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang mau dilahirkan sebagai kuli, pembantu ataupun tukang becak, tapi perjalanan hidup yang mengantarkan mereka berada "di level " paling bawah dari sudut pandang masyarakat. Kalau bukan kita yang mengangkat harkat mereka ,siapa lagi?
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H