Sama-sama Petani Tapi Nasib Berbeda, Bagaikan Siang dan Malam
Kalau menyaksikan kehidupan para petani di Indonesia dan membandingkan dengan kehidupan para petani di Australia, rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, beda bagaikan siang dan malam bagi yang sudah pernah berkunjung ke Pertanian atau Peternakan di Australia pasti sudah menyaksikan sendiri, betapa berbeda nasib mereka. Di Australia para Petani dan Peternak adalah sekaligus pengusaha.Â
Rata rata mereka memiliki home industry untuk secara langsung memproduksi hasil panen mereka. Seperti misalnya apple juice atau orange Juice,selai dan lain lainnya. Begitu juga peternak ayam yang memiliki industrinya masing-masing. =
Cara membuktikan sangat mudah, bila membeli selusin telur ayam, maka pada kardus tersebut,ada nama merek dari para pengusaha masing masing.Â
Di Indonesia ada istilah "Petani Berdasi" yang ditujukan kepada orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang pertanian, tapi meng atas namakan diri sebagai Petani untuk kepentingan pribadinya, maka di Australia petaninya benar-benar memiliki mobil pribadi dan mengenakan jas dan berdasi dalam acara formal. Mereka tidak diatur atur lewat kooperasi,karena rata rata mereka mampu menjadi Petani atau Peternak mandiri.
Pernah dulu, Koperasi berdiri bagaikan jamur dimusim hujan. Tapi gaungnya hanya sesaat,karena dalam waktu singkat ,ternyata sebagian besar dari Koperasi Petani tersebut, hanya memperkaya para pengurusnya.
Sementara para Petani,hampir tidak merasakan manfaat kehadirannya.Karena itu,akhirnya pemerintah membubarkan lebih dari 40 ribu koperasi,karena dinilai tidak efektif .
Kutipan:
Berdasarkan data Kemenkop dan UKM saat ini jumlah koperasi di Indonesia sebanyak 212.000 koperasi. Dari jumlah tersebut, 152.000 koperasi yang aktif dan yang tidak aktif sebanyak 61.000 koperasi.
Sepanjang empat tahun ini sudah ada 40.013 koperasi yang di bubarkan pemerintah. Sementara, ada 19.843 dalam tahap perbaikan dan sinkronisasi data. Hingga saat ini ada sekitar 80.008 koperasi rajin melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT)
Sebagai mantan pengusaha, secara pribadi saya sudah beberapa kali langsung menemui para petani di kampung kampung,seperti di Simabu, Batusangkar, Sungai Penuh dan sebagainya. Bahkan tinggal beberapa hari dirumah mereka. Mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak memahami hal hal yang terlalu muluk.
Sejak zaman dulu,sudah terbiasa menjual hasil pertanian melalui Pedagang Pengumpul,yang tidak jarang bertindak sebagai Tukang Kredit bagi para Petani. Sehingga ketika panen,para Petani,tidak mungkin mendapatkan kesempatan untuk menjual kepada pembeli lain,karena sudah terlanjur berhutang,
Kalaupun ada kesempatan untuk membawa sendiri hasil pertanian mereka ke kota, amat jarang yang mampu mempraktikkan .karena mengalami banyak kendala. Pertama ,setibanya di kota,mereka tidak tahu mau kemana? Baru saja tiba di perhentian bus, sudah dipalak oleh preman terminal. Belum lagi diperebutkan oleh para calo, sehingga sekali merasakan,mereka akan kapok untuk menjual sendiri hasil pertaniannya.
Kalaupun ada Kunjungan Pejabat Hanya Sebatas Seremonial
Sejak dulu, kenaikan harga gambir hanya dinikmati oleh para pedagang, baik para pedagang, pengumpul, maupun Eksportir. Sedangkan para petani gambir, dikarenakan kehidupan mereka yang morat-marit, hanya menjalani hidup secara sangat memprihatinkan.
Salah satu contoh adalah ,rata-rata para petani dan sekaligus merangkap pekerja gambir , tidak mampu bertahan hingga usia tua. Karena pekerjaan untuk memproduksi gambir secara tradisional, yang dikenal dengan istilah 'kampa' sangat menguras tenaga mereka. Karena setiap kali memukul kayu pengapit daun dan ranting tumbuhan gambir ini, getarannya sangat menyakitkan tulang belulang mereka.
Tidak heran, banyak dari antara mereka yang batuk darah di usia relatif masih muda, yakni 40 tahunan.Â
Pada waktu kami berkunjung ke gubuk mereka, tampak sepiring nasi dan sejumput sambal lado,sebagai makan siang mereka. Inilah hidup mereka dari hari kehari dan turun temurun
Walaupun sudah berkali kali ada kunjungan dari para Pejabat terkait ke kampung kampung dan menemui para petani,hanyalah sebatas seremonial dan setelah disorot oleh tv dan menjadi berita di berbagai media lokal, selanjutnya kehidupan para Petani kembali ke habitat semula..
Kooperasi,yang awalnya diharapkan akan menjadi "malaikat Penolong" bagi para Petani, ternyata berakhir seperti ditulis di atas.Â
Kehidupan para Petani di zaman Now ini, masih seperti dulu. Bagi mereka, asal sudah bisa menghidupi keluarga ya sudah. Selanjutnya What ever will be, will be. Apa yang memang harus terjadi, ya terjadilah
Ditulis, bukan berdasarkan kajian ilmuan,melainkan berdasarkan fakta fakta yang ditemukan selama lebih dari 20 tahun ,mengekspor hasil pertanian di Sumatera Barat dan Sungai Penuh
Tjiptadinata effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H