Â
Dulu Karya Tulis Best Seller, Kini Harus Belajar Menulis Lagi
Salah satu penyebab yang sering menyebabkan orang terkandas dan menyerah pada keadaan serta tidak mau lagi melanjutkan usahanya adalah karena terperangkap oleh nostalgia. Yakni terbelenggu oleh nostalgia masa masa keemasan di masa lalu. Misalnya:
- dulu pernah menjadi seorang Pengusaha
- dulu pernah berjaya sebagai Pembicara
- dulu pernah hidup berkecukupan
- dan seterusnya
Begitu kuatnya mata rantai nostalgia membelenggu alam pikiran dan batin seseorang,maka secara tanpa sadar menghadirkan rasa keputusasaan seakan semuanya sudah berakhir. Karena tidak mungkin membahas semuanya satu persatu,maka saya mencoba mengulas khusus tentang dunia tulis menulis.Â
Dulu 9 judul buku karya tulis saya diterbitkan oleh PT Elekmedia Komputindo di Jakarta.B ahkan beberapa di antaranya dinyatakan sebagai "National Best Seller " dan nama saya terpampang di harian Kompas.Â
Buku karya tulis saya dicetak ulang hingga belasan kali dan tentu saja royalty mengalir deras masuk ke rekening saya. Hasil royalty yang saya tabungkan dari 9 judul buku tersebut selama 3 tahun, saya manfaatkan untuk jalan ke luar negeri bersama istri.
Pertama kali, untuk naskah pertama, saya harus bolak balik 6 (enam) kali ke kantor Gramedia untuk menemui Bapak Ir. Ari Subagijo yang pada waktu itu menjadi Chief Editor di PT. Elex Media Komputindo.Â
Pesan pak Ari kepada saya adalah "Kalau pak Effendi memang serius mau menulis buku, maka jangan tunggu hingga buku selesai diterbitkan baru mau menulis. Tapi begitu naskah buku sudah ok, maka mulailah menulis naskah buku selanjutnya. Sehingga selang waktu antara diterbitkannya buku perdana dan selanjutnya tidak terlalu jauh. Karena bila sudah senang dan asyik karena satu buku sudah diterbitkan, maka semangat untuk menulis menjadi meluntur."Â
Pesan tersebut masih terngiang ngiang hingga kini, walaupun sudah berlalu bertahun tahun. Kemudian, Editor beralih kepada Bu Chandra, karena pak Aloysius Ari Subagijo dipromosikan untuk ketingkat yang lebih tinggi.Â
Berturut turut, tulisan saya naik cetak. Tentu saja bagi saya sebuah hal yang sangat menyenangkan hati. Apalagi ketika suatu waktu, nomor rekening saya diminta oleh bagian keuangan dari PT.Elex Media, kalau tidak salah ingat namanya Sandra.
Lain Dulu Lain Kini
Tapi kisah diatas adalah cerita tahun 2000-an. Begitu bergabung dengan Kompasiana, saya baru sadar diri bahwa saya harus belajar menulis. Jangankan masuk ke Headline, malahan banyak tulisan saya yang hl alias lewat saja. Kecewa? Pasti, tapi hal ini tidak membuat saya berputus asa.Â
Saya terus belajar setiap hari. Membaca dan mencoba menulis sebaik mungkin. Walaupun hingga hari ini, mas/mbak Admin Kompasiana selalu berbaik hati untuk membantu mengedit judul tulisan saya dan bahkan memilihkan gambar pendukung yang serasi.
Kalau saya hanya terpaku pada "Dulu karya tulis saya Best Seller dan merasa angkuh diri untuk mau belajar, maka sudah sejak lama saya tidak menulis lagi. Saya bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Admin dan teman teman yang selalu memberikan apresiasi pada hampir stiap tulisan saya yang menjadi energi motivasi bagi diri saya pribadi.
Hingga saat ini, saya terus belajar dengan rajin membaca dan berulang ulang mengedit naskah artikel sebelum di published, walaupun ternyata masih banyak kesalahan typho dan gaya "menggurui" terhadap cucu-cucu hingga terbawa dalam tulisan saya tanpa sadar.
Learn From the Cradle Into the Grave
Quote yang selalu saya jadikan falsafah dalam menulis adalah "Learn from the Cradle into the Grave" yang artinya belajar sejak dari buaian hingga akhir hayat.
Nah,teman teman yang merasa dirinya sudah tua, mungkin dapat membandingkan dengan usia saya yang tahun ini menunjukkan angka ke 76. Mungkin ada yang lebih tua daripada usia saya? Hingga saat ini menurut catatan di profile saya, tulisan saya sejak Oktober 2012 hingga hari ini 28 Maret 2019 baru mencapai 3.997.
Tulisan ini sama sekali bukan untuk pamer pencapaian, melainkan hasrat hati, mampu menginspirasi dan memotivasi bagi kaum muda agar jangan pernah berhenti belajar.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H