Antara Optimisme dan Rasa Kuatir
Sewaktu mendapatkan kesempatan makan dan duduk berdampingan dengan Presiden RI-Joko Widodo.disamping ngobrol tentang ekspor meuble ke Australia, ada pesan yang selalu saya ingat yakni "Tolong beritahu teman teman,agar menulis hal hal yang optimis dan membangun. Misalnya ,jangan ditulis "Ekonomi Indonesia Anjlok!" Saya anti kata "anjlok" kata pak Jokowi.Â
Nah, judul tulisan ini agaknya agak melanggar pesan tersebut karena ada aroma kekuatiran, karena menyaksikan dan membaca komentar yang simpang siur dan penuh sumpah serapah,antara dua kelompok pendukung  dari Paslon no. 1 dan Paslon no. 2 agaknya mengandung setitik kecemasanÂ
Dari Bangsa Yang Peramah,Berubah Ujud Menjadi Bangsa Yang Pemarah?
Coba saja baca perang komentar antara pendukung dua kubu yang berlawanan. Kosa kata santun yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia, sudah berganti warna menjadi sumpah serapah. Kalau sekedar kritikan, tentu saja sangat baik karena kritikan dapat diibaratkan sebagai sebuah alaram yang mengingatkan,sebelum terjadi marahabaya. Bunyi alaram sangat tidak enak didengar,bahkan bisa membuat telinga kita sakit. Namun perlu dan penting,untuk mengingatkan,bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Tetapi yang terjadi sudah bukan lagi kritikan,melainkan kepanikan dari kedua pendukung kubu, sehingga berhamburanlah "kata kata mutiara" seperti "Kampret! atau Cebong! Unta! dan selanjutnya semua nama nama binatang diorbitkan ,sebagai pemuas dahaga ,untuk memenangkan pertarungan antara para Komentator
Tercium Aroma Kisah Baratayuda
Walaupun terlahir di Padang, namun sejak baru bisa membaca maka komik yang pertama saya baca adalah tentang kisah Mahabrata, yang disewa di jalan Pulau Karam. Buku yang sudah lusuh dan kumal itu ,saya baca berulang kali, bhkan kelak ketika sudah punya uang sendiri, seluruh buku komik Mahabrata saya borong dan di wariskan kepada anak cucu.
Walaupun sudah jelas,cerita komik tidak mungkin memuat secara utuh pesan pesan moral yang disampaikan lewat kisah perwayangan ,namun setidaknya gambaran tentang pertentangan antara orang orang yang sesungguhnya masih satu keluarga besar,sudah dapat diterima. Inti dari persengketaan adalah karena yang satu,merasa diri lebih berhak daripada yang lainnya.
Kemudian ada kisah penghianatan Sengkuni.Â
Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Patih Sengkuni dan para pendukungnya merasa sakit hati karena merasa tidak berhasil meraih kekuasaan seperti yang mereka impikan.Â
Maka sejak saat itu hasut menghasut dan memfitnah sudah dijadikan komoditas andalan dalam kelompok pendukung Sengkuni. Pokoknya segala cara dihalalkan,demi untuk mewujudkan hasrat hati untuk meraih kekuasaan
Berakhir dengan Perang Baratayuda
Titik tumpu dari kemelut yang membakar kedua kubu yang sesungguhnya merupakan satu keluarga besar ini,adalah perang saudara. Dalam perang tidak ada istilah saudara dan sahabat.Pokoknya siapa saja yang berada di hadapan adalah musuh yang harus dimusnahkan. Segala cara dilakukan ,entah kelicikan dan tipu tipuan boleh digunakan dalam perang .
Masihkah  Kita  Sebangsa dan Setanah Air?
Entah kenapa,tiba tiba seakan aroma dari perang Baratayuda ini,sepertinya sayup sayup sampai tercium dan menghadirkan rasa ngeri.Â
Bayangkan  orang orang yang katanya, saudara sebangsa dan setanah air yang  terlahir dari "perut" Ibu Pertiwi ,saling baku bunuh dalam merebut kekuasaan,Â
Semoga hal ini hanya mimpi buruk dan ketika kita terbangun, ternyata bangsa Indonesia adalah tetap bangsa yang peramah dan berbudi luhur ,serta saling asah dan saling asuh
Catatan:
Mohon maaf bila kisah Mahabrata yang dituangkan disini ,terkesan compang camping,karena hanya mengandalkan ingatan akan cerita komik yang saya baca lebih dari setengah abad lalu
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H