Mungkinkah Akan Jadi Tren Masa Kini?
Tahun lalu, Profesor Dr. David Goodall, seorang akademisi Australia, yang berusia 104 tahun, melakukan perjalanan jauh dari Australia ke Swiss, dan menghabiskan dana sekitar 20.000 dolar atau setara dengan 200 juta rupiah, hanya untuk mengakhiri hidupnya. Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, tentu saja profesor ini sudah mempertimbangkan segala sesuatu secara matang. Keputusan ini, diambilnya setelah berkali-kali gagal bunuh diri, selama dalam satu tahun.
Hal ini dilakukannya karena di Australia, euthanasia dianggap illegal. Satu-satunya negara bagian yang mulai memberikan lampu hijau ke arah ini adalah Victoria. Namun ada syaratnya, yakni bilamana menurut hasil pemeriksaan tim medis, penyakit yang diderita seseorang, dipastikan  membuat diri penderita tidak akan mampu bertahan lebih dari 12 bulan.Â
Ucapan  dari profesor ini membuat banyak orang merinding ,yakni: "Jika seseorang
 memilih untuk membunuh dirinya sendiri, itu sah-sah saja. Saya kira orang lain tidak harus ikut campur," kata Prof Dr David Goodal. Dan keinginan hatinya untuk menentukan sendiri hari kematiannya sudah terpenuhi tahun lalu.
Kalau David Goodal sudah berusia 104 tahun, tapi pria yang mengikuti jejaknya untuk menemui kematian di Swiss baru berusia 54 tahun. Pria yang semasa hidupnya aktif bertugas di Pemadam Kebakaran ini bernama lengkap Troy Thornton. Troy hidup bahagia dan aktif bersama istrinya Christine dan dua anak Jack, 17, dan Laura, 14, ketika dunianya hancur oleh diagnosis pada 2014. Ia diagnosa mengalami komplikasi ,seperti kutipan di bawah ini:
Troy Thornton, a 54-year-old career firefighter from the Mornington Peninsula, died by lethal injection a week ago today after spending years battling a gruelling progressive neurodegenerative disorder called multiple system atroph
Penglihatannya menjadi ganda, vertigo setiap hari dan gejala lainnya, yang sudah komplikasi dalam dirinya. Ia penggemar sepak bola dan telah menghabiskan 30 tahun bekerja sebagai Petugas Pemadam Kebakaran. Pada saat ia mengetahuinya, Troy mengatakan meskipun dihadapkan dengan masa depan yang tidak pasti, bunuh diri tidak pernah menjadi pilihan baginya .Namun ,setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya, entah apa yang menyebabkan, akhirnya pria yang selama hidupnya dikenal sebagai pekerja tangguh ini akhirnya menyerah pada maut.
Walaupun menurut pengakuan Troy, hatinya merasa hancur karena tidak akan pernah menyaksikan anak-anaknya  menikah kelak, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia merasa bahwa dirinya sudah berdiri di atas sebelah kaki saja. Walaupun masih bisa berjalan, ia sudah mulai ngawur ketika berbicara dan tidak mampu menahan bila akan buang air kecil, serta merasakan vertigo sepanjang waktu, mual dan penglihatan ganda.
Mau Mati juga Harus Memenuhi Kriteria
Kalau biasanya, yang kita tahu adalah bila ingin masuk kerja atau ingin mendapatkan promosi jabatan, maka orang harus memenuhi kriteria yang ditentukan oleh panitia. Tapi ternyata, untuk mati orang juga harus memenuhi kriteria . Contohnya, Troy sudah mencoba ke negara bagian Victoria untuk melakukan euthanasia ,namun tidak memenuhi persyaratan.Â
Victoria merupakan satu satunya negara bagian dari Australia,yang menjadikan euthanasia sebagai tindakan  legal. Namun syaratnya adalah calon yang sudah tidak ingin hidup lagi harus memiliki kriteria, yakni hasil pemeriksaan tim medis, harapan hidupnya tidak sampai 12 bulan ke depan. Karena Troy tidak memenuhi kriteria ini, maka ia harus menempuh penerbangan panjang ke Swiss. Dan hasrat hatinya untuk mati, sudah terpenuhi, dengan jalan euthanasia, yakni meninggal lewat jarum suntik.
Apakah kelak cara bunuh diri secara resmi ini akan menjadi tren bagi orang orang yang berduit, di nana orang dapat menentukan tanggal berapa ia ingin meninggal?Â
Sumber : https://www.abc.net.au dan www.dailymail.com
Catatan Tambahan:
Bagi yang sudah pernah mengalami sakit dan terbaring berbulan bulan tidak berdaya di Rumah Sakit,dengan tangan dan kaki dipasangi selang untuk infus dan obat, mungkin masih ingat betapa siang malam kita berdoa dan berkutat melawan maut, agar bisa sembuh. Tapi seperti kata alm. Professor David Goodal, bahwa memilih kematian bagi dirinya sendiri adalah hak setiap orang dan tidak seorang pun yang berhak ikut campur.Â
Maka tentu jalan terbaik adalah terpulang kepada diri kita masing-masing. Secara pribadi,saya termasuk orang yang sudah merasakan bagaimana menderitanya terbaring di Rumah Sakit Mt.Elisabeth, dengan hidung dipasangi selang oksigen, tangan dan kaki dipasangi selang infus dan antibiotik, namun setiap saat saya berjuang melawan sakit, karena ingin tetap hidupmendampingi  istri dan  anak cucu. Hidup adalah sebuah pilihan dan setiap orang berhak memilih jalan hidupnya Kini ternyata, orang juga berhak memilih jalan untuk mati bagi dirinya sendiri.
Tjiptadinata Effendi
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H