Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Hidup yang Tidak Akan Pernah Datang Lagi

16 November 2018   17:23 Diperbarui: 16 November 2018   17:50 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini saya menemukan saran dari Capt.Maha Dewa Agni Jatayu yang intinya adalah, "Om coba tulis mengenai zamannya Om dulu. Pastinya ada hal hal yang perlu dan menarik sebagai sesama anak bangsa ini".

Saran sederhana, tapi memiliki energi yang cukup kuat sehingga memotivasi saya untuk terus mulai menulis. Dengan pertimbangan, bahwa dengan kemajuan zaman ada begitu banyak hal yang sudah dilupakan generasi muda bahkan sama sekali tidak pernah tahu tentang banyak hal yang dulu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.

Saya dilahirkan di Padang, yang menurut catatan Sipil, lahir jam 3.00 pagi waktu Dai Nippon. Saya terlahir sebagai anak nomor 9 dalam keluarga. Jadi di bawah saya masih ada tiga lagi adik. Total kami bersaudara 11 orang, satu ayah dan satu ibu. Hanya 2 orang adik saya meninggal sewaktu masih kecil dan saya ikut mengantarkan sewaktu dimakamkan ke kuburan di Sentiong.

Kami tinggal di daerah yang namanya Pulau Karam, tepatnya di Kali Kecil IV Kota Padang. Dari namanya saja sudah dapat diterka, bahwa daerah ini akan "karam" atau terendam air bila hujan lebat tidak berhenti selama beberapa jam.

Karena tepat di belakang rumah kami ada 'Kali Kecil' yang berhubungan dengan Sungai Batang Arau. Kali kecil ini airnya mengalir hingga ke belakang pasar Tanah Kongsi dan dari sana, menyambung dan menyatu kembali dengan Sungai Batang Arau, lewat jalan lain.

gambar:serbaserbi.com
gambar:serbaserbi.com
Kami sekampung sangat akrab mungkin karena rata latar belakang ekonomi kami 11-12. Contoh, ayah saya Kusir Bendi. Tetangga saya sopir tentara. Tetangga satu lagi tukang sepatu. Yang lainnya, jualan cendol dan Jualan kue.

Di kampung kami, pada waktu itu tidak ada orang kaya. Logikanya kalau orang kaya, mana ada yang mau tinggal di Pulau Karam? Orang yang hidupnya mapan tinggal di daerah Pondok atau lebih dikenal Kampung Cina. Atau di Jalan Sei Bong dan sekitarnya. 

Di Kota Padang ada Kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Keling dan Kampung Jawa. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan nama-nama tersebut, sungguh saya tidak tahu.

Karena sejak kecil nama tersebut sudah ada. Rata-rata orang Padang, menggunakan bahasa Padang dalam pergaulan sehari-hari, bahkan digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam rumah tangga. Sehingga seluruh masyarakat Kota Padang, baik yang tinggal di Kampung Cina, Keling, Nias, dan Kampung Jawa, dapat saling berkomunikasi dengan lancar. Hal ini juga merupakan jembatan yang menghubungkan antara etnis yang berbeda.

Setiap sore, di depan rumah lewat penjual sate padang, gado-gado, kacang goreng dan sesekali lewat juga orang yang menjual gule kambing yang berasal dari etinis India (Keling).

Sambil lewat, ia menjajakan jualannya dengan berteriak "Kambiaaang" (bahasa Padang dari Kambing) dan bila kita ingin membeli, maka cukup berteriak, "Kambiaang!", maka penjualnya akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun