Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Berkekurangan Bisa Menyebabkan Orang Jadi Sangat Sensitif

6 September 2018   10:40 Diperbarui: 6 September 2018   11:46 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: tribunnews.com

Sedikit Saja Tersenggol Terus Meradang

Tidak semua orang bisa menjalani hidup berkekurangan dengan tawakal, bahwa  inilah salah satu jalan hidup yang harus  ditempuh. Kalau kita lulus dalam ujian hidup, baru berhak menikmati kehidupan yang layak. Seperti kata peribahasa "Kegagalan adalah anak tangga menuju sukses."

Dalam kalimat lain, bila orang tidak mau menerima kegagalan, berarti ia tidak layak meraih kesuksesan. Karena tidak lulus ujian hidup.

Bagi yang sudah pernah menjalani hidup dalam kemiskinan, pasti tidak akan pernah melupakan, betapa menit demi menit terasa sangat lambat. Bahkan tidak jarang merasa bahwa jam waktu berhenti  berputar.

Hidup dalam rasa sakit dan penderitaan membuat orang secara tanpa sadar berharap, bahwa esok hari, bila matahari terbit, semuanya akan berubah. Berharap bahwa apa yang dirasakan saat ini, hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir bila terbangun dari tidur.

Namun, ketika esok hari terjaga, ternyata ia tidak bermimpi, melainkan sungguh hidup dalam penderitaan. Hal ini adalah bagian dari autobiografi kami.

Yang Tidak  Mampu  Menerima Kenyataan

Namun ada orang yang tidak mampu menerima kenyataan pahit, untuk menjalani hidup dalam penderitaan. Hal ini menyebabkan sebagian mengambil jalan pintas, yakni bunuh diri. Tetangga saya di Padang, bunuh diri dengan jalan menyilet perutnya. Karena sakit berbulan bulan dan tidak ada uang untuk berobat, sementara anak dan istri hidup menderita, karena ia tidak berkerja.

Ada yang mencari jalan pintas dengan gantung diri di pohon rambutan karena tidak mampu bayar utang-utang untuk keperluan rumah tangga. Sedangkan dirinya  tidak mampu bekerja lagi, karena jatuh dan patah. Sedangkan yang masih mampu bertahan hidup, berubah menjadi sosok  yang sangat sensitif. Ibarat luka yang meradang, sedikit saja tersenggol, maka ia dapat melakukan apa saja.

Karena itu niat baik untu membantu tipe orang yang sedang hidup meradang ini sungguh-sungguh harus secara arif dan bijak. Karena salah langkah, malahan niat baik bisa jadi bumerang bagi kita. 

Karena dulu tinggal di daerah yang namanya "Pulau Karam" maka tanpa perlu penjelasan, orang sudah memahami bahwa begitu hujan lebat berturut-turut selama dua hari, maka daerah ini akan "karam" karena terendam air, karena di "Pulau Karam" ini ada kali yang meluap.

Bercerita tentang kehidupan di "Pulau Karam" tentu jangan diharapkan akan ada kisah-kisah sukses. Karena rata-rata yang tinggal di daerah ini dulunya adalah keluarga yang tidak mampu membeli rumah di daerah bebas banjir. Karena itu kisah hidup adalah rata-rata kisah sedih dalam menjalani hidup.

Mau Membantu Orang Tidak Selalu Mudah

Karena itu, bila suatu waktu ada niat untuk membantu orang yang berkekurangan maka perlu diperhatikan faktor psikologi. Hindari hal-hal yang dapat menjadi bumerang bagi diri kita, antara lain:

Karena tidak mau berurusan dengan suaminya yang bersifat kasar, maka kita mungkin berniat baik, dengan menyerahkan bantuan lewat istrinya. Justru hal ini akan memancing petaka. Karena dikira "ada udang dibalik batu" atas pemberian kita. Belum lagi, bilamana kita membawa sesuatu untuk diberikan kepada keluarga yang berkekurangan, yang sama sekali tidak dikenal. Harus benar-benar secara cermat .

Karena seperti yang sudah dituliskan di atas, orang yang hidup dalam kemiskinan dan tidak bisa menerima kenyataan, sangat mudah meradang. Bahkan niat baik kita memberikan sesuatu bisa jadi ditanggapi dengan rasa curiga atau malahan sakit hati, karena merasa terhina. 

Pengalaman Pribadi:

Ketika membagikan bantuan ketika Yogya diguncang gempa, malam itu kami masuk hingga ke pelosok-pelosok, Dan semua menerima dengan rasa haru dan terima kasih. Begitu juga ketika Padang diguncang gempa bumi, semua menerima dengan rasa terima kasih. Akan tetapi, ketika banjir melanda Jakarta, ketika bermaksud mengulurkan bantuan ala kadarnya, disambut dengan ucapan "Kami bukan pengemis".

Pengalaman yang melukai hati, karena niat baik disambut dengan kasar. Tapi tentu jangan sampai kita menghentikan langkah untuk berbuat baik hanya karena ada sebagian orang yang tidak menerima niat baik kita.

Untuk menjadi orang baik sungguh tidak mudah! Buktinya sudah 75 tahun belajar jadi orang baik, ternyata masih jauh panggang dari api.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun