Sebelum melakukan traveling ke berbagai negara, tekad saya adalah mengunjungi tempat tempat bersejarah, agar dapat memaknai arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Pada waktu kemerdekaan RI di proklamasikan oleh Bung Karno dan Hatta, saya masih bayi, berumur 2 tahun. Jadi pasti tidak ada andil dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Bahwa Indonesia sudah merdeka baru saya tahu dari pelajaran sejarah di Sekolah Rakyat pada waktu itu.
Karena itu saya baru memahami arti dan makna yang sesungguhya setelah mengujungi beberapa lokasi bersejarah di mana terdapat saksi-saksi bisu tentang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Rumah Bung Karno di Bengkulu
Bung Karno adalah satu satunya Presiden Republik Indonesia yang sudah merasakan dinginnya penjara, bahkan sudah merasakan pahitnya hidup dalam pengasingan Belanda.
Pria yang dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya ini merupakan tokoh proklamator sekalgus Presiden RI pertama. Ia meninggal dunia di Jakarta, 21 juni 1970, di usia 79 tahun.
Terbayang oleh saya Jeep militer terbuka berhenti pas di depan rumah seorang dokter yang di pekarangannya tumbuh sebatang pohon manggis Belanda.
Bung Karno turun dari Jeep terbuka. Begitu kendaraan berhenti, Bung Karno turun dan dikawal kiri-kanan.
Ia mulai melangkah memasuki gerbang, tapi langkah beliau terhenti menengok anak-anak yang sedang berbaris dan melambaikan bendera Merah Putih ukuran mini di tangan masing-masing, Dan salah satu di antara anak anak tesebut, adalah penulis artikel ini.
Rumah Bung Hatta di Bukittinggi
Selain Bung Karno, ada nama Bung Hatta yang tidak dapat dipisahkan dari kemerdekaan RI. Karena Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh Proklamasi Kemerdekaan RI.
Bung Hatta merupakan anak laki-laki satu-satunya dari enam saudara perempuan. Bersekolah di sekolah Melayu di Bukittinggi dan kemudian melanjutkan sekolah di Padang. Dan pada 1919, ia melanjutkan studi di Batavia (Jakarta kini), dan pada tahun 1921 menyelesaikan studi di Belanda.
Ratusan Ribu Romusha
Menurut penjelasan guide yang mendampingi kami, ratusan ribu tenaga kerja paksa dikerahkan dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan dan dibuang di sini, untuk menggali terowongan ini.
Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Karena perbedaan daerah, maka para tawanan Jepang yang pada masa itu dikenal dengan nama: ”Orang Rantai” tidak tahu persisnya berada di mana.
Sedangkan tenaga romusha yang dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan bunker-bunker ini di Bandung dan di Biak.
Konon, tak seorangpun dari antara orang-orang yang dijadikan pekerja rodi di sini keluar dalam keadaan hidup.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Tugu Pahlawan tak dikenal di kota Padang
Prasasti
Membaca prasasti yang tampak menua dimakan jaman, namun kalimat yang terpahat dissana masih dapat terbaca deengan jelas:
5 Maret 1950
Perjuangan Padang dan sekitarnya
Achirnya Pinang pulang ketampuknya
Dirajakan dengan perasaan gembira
Akan djadi peringatan bangsa Negara Republik Indonesia ,idaman sutji
Genggam teguh tetap abadi
Jembatan Ratapan Ibu ini, berlokasi di jalan Achmad Yani, di kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Jaraknya dari Padang adalah sekitar 3 jam berkendara, walaupun sesungguhnya jaraknya hanya sekitar 125 kilometer.
Jembatan yang dibangun tanpa konstruksi dari besi beton ini melintang tepat di atas sungai Batang Agam. Sekaligus menghubungkan antara Pasar Tradisional Payakumbuh dan Nagari Batang Tabik.
Di sinilah para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan dibariskan di tepi jembatan dan ditembak oleh tentara Belanda.
Ketika tubuh mereka terkulai ditembus peluru, para ibu hanya bisa meratapi kematian putra-putra mereka, bahkan jasad mereka dibiarkan hanyut oleh derasnya air batang Agam ini.
Pada prasasti yang sudah memudar dimakan zaman, masih dapat dibaca tulisan tentang gugurnya para pemuda pejuang kemerdekaan negeri ini.
Makam Cut Nyak Dhien
Dalam perjalanan hidupnya, bersama suaminya Teuku Umar, ia berjuang melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.
Cut Nyak Dien, saat itu, sudah tua dan menderita berbagai penyakit, namun semangatnya untuk melawan penjajahan tak kunjung padam.
Tetapi karena pasukan kecilnya tak berdaya terhadap pasukan Belanda, akhirnya Cut Nyak Dhien, ditangkap dan kemudian dibuang oleh Belanda. Cut Nyak Dhien diangkut menggunakan kapal laut dan sempat dibawa ke Jakarta yang pada waktu itu masih bernama Batavia.
Cut Nyak Dhien yang memang sudah terkena penyakit paru-paru, tidak mendapatkan perawatan apapun selama perjalanan jauh lewat kapal laut. Kemudian ia dipindahkan ke Sumedang secara rahasia untuk dipenjarakan di sini.
Namun Bupati yang bertugas pada waktu itu, melihat kondisi Cut Nyak Dhien yang sudah sangat parah tidak tega dan menitipkannya di salah satu rumah pengurus Masjid di Sumedang. Dan di sinilah Cut Nyak Dhien menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Semakin Memahami Arti dan Makna dari Kemerdekaan RI
Dengan berkunjung keberbagai lokasi bersejarah semakin memberikan kita pemahaman tentang arti kemerdekaan RI. Bahwa kemerdekaan Indonesia bukan dihadiahkan oleh penjajah, melainkan hasil dari tumpah darah para pejuang bangsa ini.
Setidaknya, dengan memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya berguna menjadi alaram bagi kita untuk jangan pernah menjadi penghianat bangsa!
***
Tjiptadinata Effendi
***
catatan: semua foto dok.pribadi Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H