Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Mempersiapkan Mental Sedini Mungkin

28 Juli 2018   02:52 Diperbarui: 28 Juli 2018   03:17 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada begitu banyak hal yang bisa terjadi di sepanjang perjalanan hidup kita. Ada kejutan yang menyenangkan hati, seperti  tiba-tiba bertemu sahabat lama yang sudah terpisah puluhan tahun. Atau kejutan lain, tiba-tiba dapat tiket gratis ke luar negeri. Akan tetapi hidup itu tidak seindah kisah sinetron dan juga tidak seindah kisah Cinderella. Kalau kejutan yang menyenangkan bisa terjadi, maka kejutan yang membuat hati kita terluka juga bisa saja terjadi.

Dalam hal ini, mungkin tidak ada  salahnya kita menoleh pada sebuah kalimat yang terkesan kuno tapi tetap up to date untuk disimak, yakni "Hope for the best, but ready for the worst"

Ketika Terjadi Alih Generasi, Orang Tidak Lagi Mengenal Diri Kita

Sebagai ilustrasi, mungkin sepotong cuplikan pengalaman hidup saya dapat menjadi masukan yang bisa dipetik hikmahnya. Sebelum membuka usaha sendiri, dulu saya pernah bekerja di perusahaan kakak kandung saya selama beberapa tahun. Bahkan dipercayakan untuk menerima karyawan bagian produksi, menentukan gaji mereka.

Pada waktu itu lebih dari seratus orang karyawan di bidang produksi. Setiap pagi ketika saya datang, semuanya menyapa dengan hormat. Walaupun bukan tipe orang yang gila hormat, tapi setiap orang waras tentu senang dihargai. Bahkan ketika kelak saya sudah menjadi pengusaha, mereka hampir semuanya masih tetap menerima saya dengan antusias bila sesekali singgah di sana, sekedar melepas kangen.

Alih Generasi

Setelah bermukim di Australia dan kakak saya sebagai pemilik perusahaan sudah almarhum, ketika ada kesempatan pulang kampung, saya tiba tiba merasa kangen untuk jalan-jalan ke tempat di mana dulu saya pernah bekerja selama beberapa tahun. Tapi ketika saya baru saja berdiri di depan pintu gerbang, seorang karyawan datang menghampiri dan bertanya "Maaf, mencari siapa, Pak?"

Ditanya dengan pertanyaan sangat sederhana tersebut, saya jadi tergagap untuk menjawabnya. Karena tidak ada relevansinya bila saya menceritakan bahwa saya adalah adik kandung dari pemilik perusahaan tersebut . Maka setelah agak tertegun sejenak, saya menyebutkan nama anak kakak saya yang  menggantikan orang tuanya memimpin perusahaan tersebut. "Ooo bapak lagi sibuk. Tidak bisa diganggu, pak," kata karyawan tersebut dengan sopan.

Bagaimana perasaan saya? Tentu saja saya sedih. Datang ke perusahaan kakak kandung sendiri tapi tidak diizinkan masuk. Bukan salah mereka, karena sudah terjadi alih generasi. Mereka sama sekali tidak kenal dengan orang yang bernama Tjiptadinata Effendi. Saya tersentak dan sadar diri bahwa peralihan generasi sudah terjadi dan saya adalah masa lalu yang sama sekali tidak mereka kenal. Maka dengan perasaan galau, saya pamit dan merenung diri.

Belum Kapok

Walaupun sudah dapat pelajaran berharga dari kunjungan ke perusahaan kakak saya, tapi saya masih belum kapok. Mencoba berkunjung ke rumah sekolah di mana dulu saya pernah mengajar dan kakak saya pernah jadi Kepala Sekolah selama bertahun-tahun di sana. Ketika memasuki  pagar sekolah, saya langsung didatangi petugas dan mengatakan "Maaf, lagi jam pelajaran, pak. kalau ada keperluan nanti datang lagi pada jam istirahat."

Setelah sempat terpana sesaat, saya langsung pamitan. Sejak saat itu saya baru benar-benar sadar diri bahwa ketika alih generasi berlangsung, bagi mereka diri saya bukan siapa-siapa dan saya tidak perlu membuang energi untuk  menceritakan bahwa yang empunya perusahaan adalah kakak kandung saya ataupun mengatakan di rumah sekolah, bahwa saya dulu guru di sana.

Semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya untuk dijadikan masukan bahwa ada saatnya diri kita tidak lagi dikenal orang. Karena itu, perlu sejak sedini mungkin mempersiapkan mental, jika suatu waktu kita harus turun panggung dan tidak lagi dikenal di lingkungan yang dulu sangat akrab dengan diri kita.

Belajar dari pengalaman diri sendiri adalah sangat baik, karena pengalaman adalah guru terbaik. Tetapi alangkah lebih baik lagi, bilamana disamping belajar dari pengalaman diri sendiri, juga belajar dari pengalaman orang lain, karena akan menghadirkan kearifan hidup.

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun