Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hindari "One Way Communication" dalam Rumah Tangga

20 Juni 2018   19:31 Diperbarui: 20 Juni 2018   19:49 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: stockadobe.com

Menuntut Kesempurnaan

Sifat manusia pada umumnya adalah selalu ingin lebih baik. Dari satu sisi, tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang amat positif. Sebab dengan demikian, orang akan selalu berusaha untuk terus belajar menjadi lebih baik. Dengan bersandar pada falsafah hidup: "Hari ini lebih baik dari kemarin".

Akan tetapi akibat begitu antusiasnya, niat awal yang baik di tengah jalan mengalami perubahan arah. Yakni orang tidak lagi berusaha untuk belajar memperbaiki diri, malahan menuntut pasangan hidup dan seluruh anggota keluarganya untuk tampil sempurna.

Mulai Dari Hal Kecil Hingga Masuk Kedalam Kehidupan Pribadi

Bangun pagi berharap :

  1. istri sudah rapi berdandan
  2. sarapan sudah tersedia dimeja
  3. anak anak sudah rapi berpakaian

Suami, sebagai Kepala Keluarga, yang merasa sudah bekerja keras untuk memenuhi seluruh kebutuhan anak istri, merasa patut mendapatkan tempat istimewa dalam rumah tangga. Begitu selesai mandi, tinggal melenggang duduk di meja makan yang sudah apik dan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap karena hangat.

Bila salah satu saja dari hal yang diharapkannya di atas tidak tercapai, maka kening sudah mulai berkerut. Dan sambil mengunyah sarapan pagi, mulut mulai berkotbah, bahwa seharusnya seorang istri tahu menghargai suami yang sudah kerja keras setiap hari, dengan selalu tampil rapi, begitu bangun pagi, serta mempersiapkan seluruh kebutuhan anak-anak untuk ke sekolah.

Walaupun zaman feodal sudah sejak lama berlalu, tapi sifat-sifat feodal masih terus dilestarikan dalam kehidupan berumah tangga.

Hal Yang Sama Terulang Lagi di Malam Hari

Begitu pulang ke rumah, berharap istri sudah menunggu di tangga dengan senyuman manis dan berpakaian rapi. Rumah sudah dalam keadaan rapi dan anak-anak sudah duduk manis di kursi masing-masing. Handuk untuk mandi dan air hangat sudah dipersiapkan untuk "Boss" mandi. Bagi istri yang memang tidak bekerja dan hanya dalam posisi ibu rumah tangga, boleh jadi aturan main seperti ini bisa diterima dengan berlapang dada.

Akan tetapi di zaman kini, sudah amat jarang seorang wanita siap untuk hidup sebagai "pembantu seumur hidup" dalam rumah tangganya. Walaupun status resminya adalah nyonya rumah, namun dalam keseharian, fungsi yang dijalankannya adalah peran pembantu rumah tangga, "all in".

Hindari Menjadi Boss Dalam Keluarga

Posisi sebagai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga adalah status sosial, untuk melambangkan kehidupan berkeluarga. Sayang sekali cukup banyak orang yang keliru dalam menafsirkan "peringkat " ini, sehingga bertindak sebagai "boss" dalam rumah tangga. Yang memberikan perintah sana-sini dan bersifat otoriter, karena merasa sebagai kepala rumah tangga yang sudah menafkahi anak dan istri.

Karena itu, tidak mengherankan terjadinya jurang pemisah antara suami dan istri. Ketika istri mau membicarakan sesuatu pada suaminya, harus pandai-pandai membawa diri, seakan anak-anak yang mau sesuatu pada orang tuanya.

Komunikasi yang berlangsung bukan lagi sifatnya antara dua orang yang saling mencintai, melainkan komunikasi antara "penguasa" dan orang bawahan yang harus tunduk pada perintah suami.

Biasakanlah Berkomunikasi Dua Arah antara 2 Orang yang Saling Mencintai

Bila hal ini terus diterapkan, maka jangan heran bila kelak sifat seperti ini akan di-copy-paste oleh anak-anak. Jangan lupa bahwa anak-anak adalah peniru yang paling handal dalam segala hal. Karena itu, sebelum semuanya terlambat, mulailah membiasakan diri untuk berkomunikasi yang sifatnya antara dua orang yang saling mencintai.

Sambil duduk santai di teras rumah ataupun ketika sedang olah raga pagi. Tidak lagi harus menunggu suami duduk di kursi dan kemudian istri datang menghadap dan mengutarakan isi hatinya.

Jangan takut kehilangan wibawa sebagai suami. Saya sudah membuktikan, istri saya bebas berbicara apapun dan di mana saja, tanpa harus menengok situasi dan kondisi. Akan  tetapi saya selalu ditempatkan sebagai kepala keluarga dalam mengambil keputusan, terutama bilamana keputusan tersebut menyangkut atau melibatkan orang di luar keluarga.

Kalau ada telpon yang mengundang kami makan bersama, tidak pernah istri saya memutuskannya sebelum menanyakan pada saya. Apalagi bila menyangkut hal hal besar.

Ini adalah salah satu bukti bahwa komunikasi  dua arah antara suami dan istri dalam rumah tangga sama sekali tidak akan mengurangi wibawa suami sebagai kepala rumah tangga. Syaratnya hanya satu, yakni "jangan ada boss" dalam rumah tangga.

Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pengalaman orang lain. Semoga ada manfaatnya.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun