Belakangan ini, sangat sering kita mendengarkan atau membaca berbagai berita di media sosial, remaja bunuh diri. Bukan karena saking susahnya menjalani kehidupan mereka, tapi justru hanya karena masalah urusan sekolah atau masalah asmara.
Siswi SMP Bunuh Diri
Takut tidak diterima masuk SMAN 1 Kota Blitar karena sistem zonasi, diduga kuat menjadi motif kenekatan EP (16), pelajar SMP gantung diri. EP diduga gagal masuk ke SMA favorit meski ia dikenal pintar.
Keterangan dari beberapa teman korban yang ikut ke RSUD Mardi Waluyo, EP merupakan siswa berprestasi di sebuah SMPN Kota Blitar.
EP mempunyai cita-cita kuat melanjutkan sekolah ke sebuah SMA favorit di Kota Blitar yakni SMAN 1 Kota Blitar. Namun domisili EP yang ada di Kabupaten Blitar menipiskan harapannya untuk bisa diterima di situ.
"Cuma beberapa hari ini dia bilang stres. Soalnya nilainya turun semua. Dia juga takut gak diterima di SMAN 1 Kota Blitar, soalnya dia kan anak kabupaten," kata teman sekelas korban Sandy pada detikcom, Selasa (29/5/2018).
Sementara Kasatreskrim Polresta Blitar AKP Heri Sugiono membenarkan, jika kematian korban murni akibat gantung diri.
Patut Menjadi Alaram Bagi Para Orang Tua
Apa yang terjadi pada remaja ditempat lain, bukan tidak mungkin bisa juga terulang lagi. Ini merupakan bukti, betapa rapuhnya ketahanan sikap mental dari generasi zaman milenial ini.Â
Putus cinta, bunuh diri, tidak lulus ujian, atau takut tidak diterima di sekolah favorit mereka melakukan jalan pintas dengan bunuh diri. Peristiwa ini harus menjadi pertanda keras buat kita.
Sebab siapa menjamin bahwa hal ini tidak akan berlanjut terus, bahkan dikhawatirkan akan menjadi "tren" mengerikan bagi masa depan anak cucu kita?Â
Lalu tugas siapa mengantisipasinya? Pemerintah? Rumah sekolah ?  Jelas hal semacam ini,tidak mungkin dibebankan pada pemerintah dan rumah sekolah ataupun kepada para guru sekolah. Karena yang paling dekat secara psikologis kepada  anak anak,adalah orang tua sendiri.
Alasan Sibuk Mencari Nafkah Jangan Dijadikan Alasan
Sibuk mencari nafkah atau hidup dalam tekanan ekonomi,jangan sampai dijadikan alasan,untuk pembenaran diri. Kalau boleh saya mengambil contoh hidup,yakni keluarga saya sendiri. Ayah saya bekerja sebagai Sopir truk dan ibu alm.hanyalah ibu rumah tangga yang cuma lulusan Madarasah di kota kecil Payahkumbuh,kecamatan 50 Koto di Sumatera Barat.
Total kami semua berjumlah 11 orang. Bayangkan,hidup seperti apa yang kami jalani sejak lahir. Saya tidak pernah tahu,apa yang namanya susu, selain dari air nasi, yang setiap hari menjadi santapan saya.
Tapi justru dalam segala kekurangan di segi ekonomi, kami digodok oleh kedua orang tua kami, untuk menjadi pribadi yang tangguh menghadapi masalah hidup.
Sejak SD,kami sudah kesekolah berjalan kaki,yang lumayan jauhnya. Tidak ada uang jajan.
Sepulang sekolah, ikut membantu orang tua dengan jualan telur asin dan Paleh bada, yang dimasak oleh almarhum ibu saya.
Mengalami berbagai hinaan dan dijadikan bahan olok olokan, sudah merupakan santapan bagi kami.Â
Segala penderitaan lahir bathin, menempa mental kami seperti baja, dalam menghadapi badai kehidupan.
Tidak satupun dari antara anggota keluarga kami yang takut menghadapi berbagai tekanan hidup. Apalagi cuma tidak naik kelas atau tidak diterima disekolah favorit.Â
Untuk urusan  sekolah, kami urus masing masing, tanpa menyibukan orang tua, yang sudah sibuk mencari nafkah bagi kami.
Peran kedua orang tua, dalam membentuk kepribadian kami, sebagai anak anak mereka, melekat dalam hati kami, hingga menua, yakni kejujuran, disiplin diri, dan kerja keras. Jangan pernah ada kata menyerah.
Kalau bukan kita yang peduli pada nasib anak-anak kita, siapa lagi?
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H