Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jadikanlah Penghinaan sebagai Cambuk Diri

19 Mei 2018   19:12 Diperbarui: 19 Mei 2018   19:46 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyikapi Penghinaan

Dalam kondisi terpuruk lahir batin, bertamu ke rumah kerabat tapi hanya diterima di depan pintu pagar, sungguh terasa seakan sebatang tombak yang langsung menembus ke ulu hati. Melukai amat sangat. Terus mau apa? Mau bunuh diri? Atau mau mengamuk?

Syukurlah, saya sudah kenyang makan olokan dan hinaan, dari orang-orang yang awalnya saya harapkan dapat mencarikan solusi agar dapat mengubah nasib. Karena itu, apalah artinya ditambah dengan satu atau bahkan sepuluh penghinaan lagi? 

Jadikan Cambuk Diri

Walaupun manusia bukan seekor kuda yang harus dicambuk agar mau berlari, tapi tak urung setiap hinaan dapat diinterprestasikan sebagai cambukan, bahkan motivasi yang sangat kuat menghadirkan empowering dalam diri. Hinaan demi hinaan dapat dijadikan cambuk diri untuk kerja lebih keras, agar dapat mengubah nasib.

Memotivasi diri untuk membuktikan pada orang banyak bahwa saya juga bisa sukses. Ketika di subuh hari badan terasa sakit dan  serasa masih ingin melanjutkan tidur, tiba-tiba bagaikan tersentak, saya bangun dan mengulangi tekad diri bahwa saya tidak ingin dihina lagi.

Saya ingin tunjukan kepada orang banyak bahwa saya juga bisa hidup mandiri dan tidak harus menadahkan tangan kepada mereka. "Dendam kesumat" ini ternyata mampu melecut diri saya selama tujuh tahun.

Akhirnya Menemukan jalan 

Dan bersyukur Tuhan membukakan jalan. Setelah tujuh tahun hidup merangkak dalam lumpur, hidup kami berubah total. Kami sama sekali tidak kaya, tapi sudah memenangkan pertarungan melawan badai dan topan kehidupan dan mengalahkan diri sendiri. Ketika pertama kali menginjakan kaki di Amerika Serikat menghadiri acara wisuda putra pertama kami yang lulus Msc dalam usia belum genap 21 tahun, tak kuasa kami menahan jatuhnya air mata. Tapi kali ini adalah air mata kebahagiaan dan rasa syukur kepada Tuhan.

Tulisan ini jauh dari maksud membanggakan diri, melainkan semata untuk memotivasi, membangunkan orang banyak yang mungkin masih terlelap dalam mimpi-mimpi buruk.

"Bangun dan kerja keras untuk mengubah hidup. Jangan lupa, tak seorang pun dapat mengubah nasib kita kecuali diri sendiri! Jadikanlah setiap hinaan sebagai cambuk untuk melecut diri kita!"

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun