Â
Tidak Semua Orang Bisa Jadi Duta, tapi Setiap Orang Dapat Berperan Menyembatani Perbedaan
50 tahun lalu di kampung halaman saya di Padang terdapat Kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Keling, dan Kampung Jawa. Walaupun tidak ada aturan tertulis yang melarang orang berbeda suku untuk tinggal dalam lingkungan berbeda, tapi secara spontan, terjadi jurang pemisah.
Di Kampung Cina, hampir seratus persen didiami warga keturunan Tionghoa dan di Kampung Nias, juga hampir seratus persen didiami warga asal dari Pulau Nias, begitu seterusnya.
Tentu saja, gambaran kehidupan di Kota Padang, tidak dapat dijadikan takaran atau ukuran bagi seluruh Indonesia. Akan tetapi  mungkin dapat dikatakan sebagai gambaran miniatur dari keseluruhan kehidupan di Nusantara.
Masing-masing orang lebih merasa aman dan nyaman bila bergaul dengan sesama orang sekampung ketimbang dengan orang yang berlainan asal daerahnya. Maka secara tanpa sadar terjadilah jurang pemisah yang tidak kasat mata.
Pemerintah tentu tidak mungkin dapat menerbitkan peraturan bahwa semua orang harus mau bergaul dan menjalin hubungan persahabatan dengan beragam suku bangsa yang ada di tanah air kita. Satu-satunya jalan adalah kesadaran dari setiap orang untuk menjembatani jurang perbedaan ini dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk berinteraksi secara aktif dalam berbagai kesempatan.
Seperti pada awal pertama kali saya dan istri akan ke Banda Aceh, kami disarankan oleh beberapa orang teman untuk membatalkan rencana kami, dengan mengatakan bahwa kami berdua memiliki perbedaan ganda, yakni keturunan Cina dan non-Muslim lagi. Namun tekad kami sudah bulat dan ternyata di Banda Aceh kami diterima bukan hanya dengan tangan terbuka, tapi juga dengan hati terbuka. Bahkan kami diajak berbuka puasa bersama.