Suami Istri  Dikubur Dalam Satu Liang Lahat
Setiap tanggal 5 April, pada waktu dulu,seluruh warga Tionghoa,termasuk yang sudah memeluk agama lain,selain Konghucu, akan pulang kampung. Untuk menunjukkan baktinya bagi  orang tua yang sudah meninggal dunia. Karena pada masa itu,rasa hormat terhadap orang tua,sangat kental dan tidak berakhir dengan kematian orang tua.
Cara mewujudkan rasa hormat adalah dengan membersihkan makam leluhur. Pada awalnya,begitu disiplinnya ,sehingga orang merasa kurang hormat ,bilamana ia menyuruh orang lain untuk membersihkan makam orang tua dan leluhur.
sehingga dengan susah payah,berupaya membersihkan dengan tangannya sendiri. Tanggal 5 April ini,disebut sebagai Ceng Beng atau Cing Bing. Namun ada juga yang memilih tanggal 4 April. Sejujurnya,saya tidak tahu ,mengapa ada dua tanggal yang berbeda.
Ceng Beng yang ditulis Qing Ming, sudah menjadi budaya, bukan hanya di negeri asalnya Tiongkok, tapi juga sudah mendarah daging dalam diri orang Tionghoa perantauan. Termasuk di Indonesia. Tradisi ziarah atau nyekar di makam leluhur, sudah diterapkan sejak saya masih kanak-kanak.
Beberapa hari sebelum tanggal 5 April, setiap tahunnya, seluruh anggota keluarga menyempatkan diri untuk pulang kampung guna berziarah ke makam leluhur. Membersihkan kuburan yang di Kota Padang disebut dengan istilah "merambah". Maksudnya merambah adalah membersihkan dari rumputan dan tanaman liar yang tumbuh di makam dan sekelilingnya.
Mengecat ulang tulisan yang terdapat pada batu nisan yang lazim disebut "Bongpay".Saya sendiri tidak tahu bagaimana penulisan dalam bentuk aslinya, makanya istilah Bong pay ini saya tuliskan berdasarkan pendengaran sejak jaman dulu. Tulisan yang dahulunya dipahat dalam aksara Cina belakangan sudah ditulis dalam huruf latin sehingga bisa dibaca semua orang.
Namun,seiring dengan perjalanan waktu,cara dan gaya ini ,mulai berubah menjadi lebih fleksibel,yakni boleh membayar orang lain,untuk membersihkan makam dan pekarangannya. Semakin lama,hal inipun semakin meluntur,karena berbagai ksibukan dan perhitungan ekonomis,orang mulai berpikir,yang penting, makam bersih dan tidak harus pulang kampung,karena akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Maka ,tradisi :"pulang kampung "dihari Cing Bing" pun lama lama dilupakan dan merasa cukup dengan mengirimkan sejumlah uang untuk membayar orang membersihkan dan biaya untuk sembahyang leluhur.
Kalau dulu,untuk menyeberang ke Bukit Sentiong,orang harus menggunakan perahu ,yang di Padang,disebut :"sampan" Pernah kejadian,sewaktu ada acara pemakaman ,arus sungai Batang Arau sangat deras,akibat hujan lebat,Sehingga peti jenasah hanyut dan jatuh korban tewas beberapa orang. Namun belakangan,sudah dibangun jembatan Sitti Nurbaya,seperti tampak pada gambar.Sehingga orang lebih leluasa ,berlalu lintas dari Padang,ke Bukit Sentiong. Bahkan jembatan tersebut,dapat dilalui oleh kendaraan roda 4