Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Tua Bukan "Barang Rongsokan"

31 Oktober 2017   06:50 Diperbarui: 31 Oktober 2017   21:22 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap Orang Suatu Waktu Akan Menua

Kalau barang sudah lama di gunakan dan tidak lagi berfungsi dengan baik,maka biasanya dibuang atau dicampakkan dilaman belakang rumah. Seperti misalnya kompor masak yang dulu setiap hari kita gunakan untuk memasak, namun seiring dengan perjalanan waktu,sudah rusak, bautnya sudah hilang dan tidak lagi dapat di fungsikan,kita sebut barang rongsokan.

Tempat barang rongsokan pasti bukan diruang  tamu. Karena kalau kedatangan tamu dan menengok ada barang barang gituan tergeletak disana, tentu image kita sebagai seorang pebisnis atau tokoh masyarakat ,bisa bisa menjadi pudar.

Orang Tua Bukan Rongsokan

Akan tetapi orang tua,yang selama ini merawat kita,sejak masih bayi, hingga tumbuh menjadi dewasa dan mampu mandiri,kini sudah tidak lagi berdaya. Jalan mulai terpincang pincang. Wajah sudah tidak enak lagi dipandang,karena sudah seperti pakaian  yang tidak distrika. Kusut dan tampak brantakan.

Kalau tertawa bukannya tampak cantik atau ganteng, malahan bisa merusak padangan mata,karena gigi sudah ompong ,ditambah dengan rambut yang sudah memutih. Tapi mereka ini, walaupun sudah tidak lagi dapat digunakan, karena onderdilnya sudah aus,seiring perjalanan waktu, mereka tidak sama dengan barang rongsokan.

Sehingga tidak harus dienyahkan kedapur atau kedalam kamar,agar jangan sampai merusak pemandangan tamu agung kita.Orang tua sudah menghabiskan waktunya untuk kita masing masing ,setidaknya selama 20 tahun,sehingga kita mampu hidup mandiri.

Pengalaman Sahabat Saya

Tahun lalu ,kami sempat pulang ke Indonesia. Seperti biasanya,setiap berada di tanah air,tidak pernah kami lewatkan untuk bisa mengunjungi sanak keluarga dan sahabat sahabat lama.

Ada yang hidupnya masih seperti dulu,yakni hidup dalam keprihatinan,tapi ada juga yang sudah berubah total. Anaknya menjadi pengusaha sukses dan kini tinggal dirumah gedung yang mewah. Salah satunya adalah Pak Johny, sahabat saya semasih masih sekolah,yang hanya tersisa tidak sampai 10 jari lagi. 

Kami berdua,menyempatkan diri untuk berkunjung kerumahnya ,yang tentu tak elok,bila saya sebutkan alamatnya.Setelah saling kangen kangenan, dan saling berebut bercerita,beralih pada kehidupan kami di Australia.

"Wah,anda berdua sudah hebat ya Effendi.Sudah tinggal di Australia", kata Johny
"Benar John, kami tinggal sekarang hanya dua ratus meteran dari pantai,sangat menyenangkan." jawab saya.
"Luar biasa, berapa harga rumah disana?" tanya Johny
" Ya, lumayan, rata rata 750.000 hingga 800.000 dolar John. Tapi rumah punya putra kami. Kalau rumah kami di Kemayoran di Jakarta.Itupun cuma apartemen kecil John." Jawab saya.

Johny terdiam sesaat dan melanjutkan:" Anda berdua sangat beruntung,punya anak yang begitu peduli pada anda berdua ",katanya sambil menarik nafas dalam dan wajah yang berubah jadi sedih. Dan kemudian mulai curhat kepada kami berdua.Ketika berbicara suaranya gemetaran, wajah dan penampilannya sudah bagaikan orang berusia 90 tahun. Padahal usianya berada 5 tahun dibawah usia kami.

Johny memang tinggal dirumah gedung milik putranya. Tapi yang membuat ia sedih adalah setiap kali ada tamu dari putranya datang ,maka ia diminta untuk masuk kekamar.

Bahkan cucunya juga memperlakukan dirinya seperti itu" Opa, ntar teman teman saya mau main kesini, Opa duduk didalam saja ya." Sebuah kalimat,yang bagi Johny,bagaikan belati yang menghujam dalam kejantungnya. Ia merasa diperlakukan sebagai barang rongsokan oleh putra dan cucunya.

Ia sama sekali tidak menuntut balas budi dari anaknya, namun hanya minta diakui,bahwa ia memang ayah dan kakek dari cucu cucunya. Sambil bercerita,saya menyaksikan pandangan mata Johny,sungguh memancarkan rasa sedih yang mendalam. Karena merasa diperlakukan sebagai barang rongsokan oleh anak dan cucu cucu yang teramat dicintainya.

Kami Berdua Ikut Merasakan

Kami berdua ikut merasakan betapa amat menyakitkan diperlakukan oleh anak dan cucu,yang dulu digendong,disuapi dan dimanjakan,disaat saat tubuh sudah tidak lagi berfungsi dengan baik,diperlakukan sebagai barang rongsokan oleh anak cucu sendiri.

Kami beryukur, anak-anak  dan cucu cucu kami memperlakukan kami dengan sangat hormat. Malahan bila teman temannya datang,kami berdua selalu diajak makan bersama.

Begitu juga ketika teman teman cucu kami datang bertandang, selalu cucu dan mantu cucu kami memperkenalkan kami kepada teman temanya: "Ini Opa dan Oma saya" Begitu juga kalau kami ke Jakarta, pasti akan diajak makan bersama oleh putra kami, bersama  keluarganya. Kami bersyukur tidak habis habisnya, putra putri kami dan seluruh keluarganya, sangat menyayangi kami. 

Suatu Waktu Kita Semua Akan Menua

Mungkin pengalaman sedih dari sahabat saya Johny,dapat menjadi bahan renungan di pag ini, khususnya yang masih muda, cantik dan ganteng. Jangan lupa,suatu waktu kita semua akan menua. Kalau memperlakukan orang tua sebagai barang rongsokan yang tidak enak ditengok para tamu,bagaimana bila kelak diri kita yang diperlakukan demikian oleh anak cucu?

Bagi pria, tentu kalau bisa selamanya ganteng dan kekar dan wanita ingin tetap cantik dan lincah seumur hidup.Akan tetapi usia tidak dapat ditunda. Semua orang suatu waktu akan turun dari panggung dan menua. Tapi orang tua,walaupun sudah tidak lagi dapat berbuat banyak, mereka bukan barang rongsokan.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun