Pagi tadi saya dapat WA dari Mona, salah satu ponakan saya. Ia bercerita tentang suaminya sudah 3 hari belum pulang dari menangkap ikan di laut, padahal biasanya 2 hari sudah kembali. Menghubungi HP percuma, karena di laut mana ada sinyal. Speedboat-nya tidak dilengkapi dengan radio komunikasi. Sudah beberapa kali Mona mohon pada suaminya agar mencari pekerjaan lain. Tapi suaminya menjawab, " Mancing ikan adalah hobi saya sejak dulu. Nah kini ada pekerjaaan, di mana saya dapat menekuni hobi dan digaji lagi. Mau cari di mana pekerjaan seperti ini?"
Saya hanya mengatakan akan mencoba berbicara dengan suaminya. Tapi tidak mungkin masuk terlalu jauh dalam kehidupan keluarga mereka. Kendati istrinya adalah keponakan saya, tetapi sejak mereka menikah, saya sudah tidak lagi berhak mencampuri urusan pribadi mereka. Mona hanyalah salah satu contoh tentang kesenjangan yang terjadi, di mana suami terobesi kerja sesuai passion dengan mengabaikan kepentingan keluarga. Ada banyak masalah yang ditimbulkan, akibat orang menomorsatukan "passion" dan menomorduakan keluarganya.
Terobesi Kerja Sesuai Passion
Berkerja sesuai dengan passion tentu saja merupakan impian setiap orang. Mengapa? Karena passion secara bebas dapat diartikan melakukan sesuatu yang disenangi dan menikmatinya lahir batin. Apabila beruntung dapat bekerja sesuai passion, tentu saja merupakan hal yang patut disyukuri dan dirawat, agar jangan sampai terputus di tengah jalan.
Bekerja sesuai passion merupakan jalan mulus untuk meraih cita cita hidup. Karena walaupun bekerja siang dan malam, tapi karena apa yang dikerjakan sangat menyenangkan hati serta dapat dinikmati, menyebabkan orang sama sekali tidak pernah merasa jenuh dan lelah. Akan tetapi jangan lupa bahwa dalam hidup ini tidak semua hal dapat diatur atur menurut maunya kita. Karena hidup itu bersifat dinamis yang bergerak dari waktu ke waktu dan dari satu sudut ke sudut kehidupan lainnya. Sehingga tidak jarang orang harus mau mengerjakan sesuatu yang bukan passion-nya, demi untuk dapat memenuhi kewajiban terhadap keluarganya.
Memilih Antara Passion dan Cita-cita Hidup
Menerima kata kata yang bernuana inspirasi dan motivasi tentu saja sangat baik. Karena dapat berfungsi untuk merangsang diri agar bekerja atau belajar lebih giat lagi. Akan tetapi kita perlu jeli dan arif dalam menerjemahkannya sebelum menerapkan dalam kehidupan kita. Kalau kita sudah berkerja sesuai dengan passion tapi ternyata penghasilan yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, lalu apa sikap kita?
Bersikap masa bodoh yang penting diri kita senang dengan pekerjaan yang sesuai passion? Dengan tetap berprinsip bahwa kerja sesuai passion akan mempermudah diri kita untuk mengubah nasib? Bagaimana seandainya setelah bekerja sesuai passion selama bertahun tahun, ternyata sama sekali tidak ada perubahan menuju perbaikan nasib? Di sinilah kedewasaan sikap mental kita diuji. Apakah kita lebih mengutamakan diri sendiri ketimbang keluarga kita ataukah kita berani keluar dan meninggalkan zona keamanan dan kenyamanan, untuk alih profesi, demi untuk dapat mengubah nasib keluarga kita.
Pengalaman Pribadi
Passion saya dan istri sama, yakni mengajar. Istri saya mengajar di SMP dan SMA Pembangunan. Saya mengajar di SD dan di SMP. Tapi 7 tahun lamanya mengeluti perkerjaan sebagai tenaga pengajar, hidup kami tetap morat marit. Karena gaji guru pada waktu itu hanya cukup untuk hidup 2 minggu walaupun kami berdua bekerja. Kalau saya tetap ingin menikmati pekerjaan sesuai passion, maka sudah terbayangkan bagaimana nasib anak anak kami kelak. Maka saya memutuskan untuk keluar dari zona keamanan dan kenyamanan,sementara istri tetap mengajar. Dengan pemikiran seandaiknya saya gagal dalam usaha yang baru dirintis, kami tidak sampai menjadi gembel. Karena masih ada gaji istri yang dapat diandalkan untuk sekadar makan.
Sebuah Keputusan yang Berat
Ibarat sedang mengemudikan kendaraan dan berada di persimpangan jalan, maka kita harus memutuskan,mau jalan terus, belok kiri atau belok kanan. Kalau ragu ragu, maka di samping membahayakan diri sendiri dan penumpang yang ikut bersama kita, juga berpotensi dapat membahayakan pengguna jalan lainnya.
Maka di saat saya tidak menemukan titik balik kehidupan dengan menjadi tenaga pengajar, saya mengambil keputusan untuk keluar dan meninggalkan zona keamanan dan kenyamanan. Masuk ke dalam dunia bisnis yang sama sekali masih asing bagi diri saya. Namun sekali keputusan sudah diambil, kita sudah harus siap menanggung seluruh konsekuensinya. Karena setiap keputusan membawa sebuah harapan, tapi sekaligus sebuah risiko. Ibarat sekeping mata uang yang memiliki dua belah sisi. Dan suka atau tidak suka, kita harus mengambil keduanya.
Belajar Mencintai Pekerjaan Baru
Di sinilah saya belajar untuk mencintai pekerjaaan baru, yang awalnya sangat sulit dilakukan. Perasaan bercampur aduk dalam diri. Karena biasanya mengajar, tinggal naik sepeda ke sekolah. Masuk kelas dan dihormati para siswa. Ketika ada waktu istirahat, duduk di kantor guru dan mendapatkan secangkir teh hangat. Kini semuanya tidak bakalan ada lagi dalam kehidupan saya.
Tapi perlahan lahan,ternyata saya mulai mencintai pekerjaan saya sebagai seorang pengusaha. Bahkan begitu terobsesinya hingga larut malam, saya masih tekun mempelajari seluk beluk bisnis. Akhirnya hasil kerja keras dan mulai mencintai pekerjaan sebagai pengusaha, ternyata berbuah keberhasilan. Nasib kami berubah total. Bahkan istri saya yang masih terus mengajar, tidak mengambil gajinya selama dua tahun. Gaji ini disumbangkan bagi anak anak asuh yang ingin sekolah, tapi orang tuanya tidak mampu membiayai.
Kini Zaman Sudah Berubah, Gaji Guru Sudah Jutaan Rupiah
Seiring dengan perubahan zaman, bersyukurlah gaji guru sudah melebihi dari 5 juta rupiah. Kalau sakit tidak masalah karena ada Kartu BPJS. Rata-rata guru sekolah sudah memiliki sepeda motor pribadi. Kalau dulu, jangankan sepeda motor, ban sepeda pecah saja harus ngutang ke kantor. Anak sakit tidak ada uang untuk berobat. Maka bersyukurlah para guru yang kini dapat bekerja sesuai passion dan gaji yang diterima juga mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Profesi guru yang saya tuliskan di sini, semata-mata hanya karena merupakan pengalaman hidup pribadi dan tidak mengaitkan dengan hal hal lainnya.
Dalam hidup ini, seringkali kita dihadapkan pada pilihan. Dan kitalah yang paling berhak menentukan, jalan mana yang akan dipilih. Karena apa yang dipilih, akan menjadi hidup kita.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H