Sang Filsuf,Seorang Pemulung
Untuk belajar tentang falsafah hidup,tidak musti berguru pada orang yang bergelar profesor dibidang filosopi .Karena dalam hidup ini ada banyak guru kehidupan yang dapat kita temui.Bukan dengan duduk dibangku kuliah,tapi justru dari orang yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah tinggi.
Karena di dunia ini, ada begitu banyak sekolah sekolah kejuruan ,semisalnya: Â jurusan tehnologi,jurusan ekonomi ,jurusan falsafah dan sebagainya.Tapi pasti tidak ada satupun universitas di dunia ini,yang mengajarkan jurusan ilmu Kejujuran.
Begitu banyaknya perguruan tinggi,baik perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah,maupun oleh swasta.Tapi tak satupun ada sekolah yang secara khusus mengajarkan tentang ilmu kerendahan hati dan ketinggian budi.
M.Syafei saya temui didepan pagar kantor putra kami di jalan Tongkol, Rawamangun di jakarta,sebelum keberangkatan kami ke Australia. Menurut karyawan putra kami,pak Syafei ini adalah pemulung yang sudah lulus test. Tadinya saya kira lulus test apaan? Ternyata lulus test kejujuran.
Ia diminta menjual sebuah kompor bekas.Â
Bisa saja ,habis menjual ,tidak kembali lagi bersama uang hasil penjualan Kompor.Ternyata sorenya Syafei datang dan memberikan uang sejumlah Rp,300.000.-- hasil dari penjualan barang bekas tersebut. Oleh putra kami,cuma diambil Rp.100.000,-- dan sisanya diberikan kepada Pak Syafei. Tertarik oleh kejujuran ,orang yang disebutkan sebagai Syafei ini,maka siang itu saya temui ,dirinya sedang sibuk membersihkan hasil perburuannya,berupa botol botol plastik bekas minuman dari berbagai merk.
Hidup Melarat itu Perjalanan Hidup,Sedangkan Kejujuran adalah Pilihan
Berbincang bincang dengan Pak Syafei ,yang mengaku asal dari Demak dan merantau ke Jakarta,,dengan meninggalkan istri dan seorang putranya,sungguh sangat menarik. Karena dari mulut seorang pemulung seperti Syafei ini,sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran falsafah kehidupan. "Bagi saya,hidup melarat itu adalah perjalanan hidup, Sedangkan kejujuran adalah pilihan" ,kata Syafei mantap.
6 tahun tinggal di gerobak,rasa syukurnya sama sekali tidak berkurang.Â
Berkali kali ia menyebutkan : "Alhamdulilah dengan hidup seperti ini,saya mampu menghidupkan istri dan menyekolahkan putra saya yang satu satunya. Kini duduk di SMP dan juara kelas". Kisah Syafei dengan bangga. Namun di pelupuk matanya, tampak air matanya mengambang. Namun pria yang berusia 60 tahun ini,tidak ingin saya menengoknya menangis. Maka ia menunduk dan menghapus air matanya dengan lengan kausnya yang lusuh.
Sosok Anak Manusia,Yang Tahu Memaknai Arti Bersyukur
Dan ketika pamitan,saya titipkan sesuatu di tangannya untuk putranya yang mungkin membutuhkan.Sekali lagi ia mengucapkan :"Alhamduliah dan kembali matanya basah oleh air mata. Kali ini Syafei tidak menyembunyikannya. Ia membiarkan saya melihatnya menangis.
Alhamdulilah! Putra kami ternyata juga sudah menerapkan hidup berbagi dengan caranya sendiri,yakni mengizinkan Syafei, berkantor dan berumah persis di dinding pagar rumahnya.Â
Pelajaran HidupÂ
Peristiwa ini sudah berlalu cukup lama,tapi malam ini ,ketika saya mengeluh udara yang cukup dingin dalam ruangan dimana saya dan istri duduk,tiba tiba saya jadi ingat,akan Syafei yang tidur di gerobak,selama 6 tahun dan tetap mengucapkan :'Alhamduliah!
Saya jadi malu hati,duduk dikursi empuk,sambil ditemani istri dan menikmati secangkir capucinno hangat,masih mengeluh. Padahal ada jutaan orang yang hidup jauh dari anak istri masih tetap memiliki rasa syukur yang mendalam. Saya harus belajar dari Syafei,Sang Filsuf yang pemulung.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H