Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Didik Anak Kita Jadi "Anak Mama"

14 Juni 2017   06:44 Diperbarui: 14 Juni 2017   16:30 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Wisuda:"depositphotos"

Mengapa begitu banyak sarjana menganggur di negeri kita? Sementara di Australia tidak ada sarjana yang menganggur.Karena  pendidikan di negeri kita, hanya  menghasilkan anak anak Mama, santun namun sama sekali tidak dipersiapkan untuk memasukki kehidupan yang sesungguhnya. Karena itu tidak mengherankan, begitu lepas toga, para lulusan sarjana,gamang menginjakkan kaki di dunia nyata. 

Selama ini mereka dididik untuk jadi anak santun dan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh bapak dan ibu guru,yang tentu saja sangat baik dan patut diapresiasi..Tapi amat disayangkan ,sama sekali tidak ada upaya untuk mempersiapkan jalan bagi mereka untuk meniti dunia kehidupan nyata. Maka yang terlahir dari produk ini ,adalah "anak anak mama"
Akibatnya sudah dapat dibayangkan, sudah  sarjana,mau pacaran saja,masih minta uang sama mama.Bahkan  tidak jarang,yang berani menikah,padahal belum bekerja Memang itu bukanlah urusan kita secara pribadi,tetapi menunjukkan betapa lemahnya pola pendidikan yang diterapkan .Sehingga tidak mengherankan ,bila setiap tahun,jumlah sarjana yang menganggur bertambah.

Sebuah paradigma yang keliru diterapkan adalah bahwa yang penting anak-anak lulus dan menyandang gelar sarjana. Dengan menenteng ijazah sarjana di tangan maka seakan semua jalan sudah akan terbuka lebar lebar. Padahal kita  bisa menengok realita yang terjadi, bahwa  gelar sarjana bukanlah jaminan, untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan.

Mahasiswa Kerja Paruh Waktu Dianggap Orang Tua Tidak Mampu

Bilamana ada mahasiswa yang bekerja paruh waktu,dengan memanfaatkan waktu usai kuliah,dianggap mungkin orang tuanya tidak mampu. Lagi lagi cara pandang yang keliru dalam menentukan kasta di masyarakat kita. Seakan ,hanya mahasiswa yang berasal dari keluarga bersahaja, saja yang harus bekerja paruh waktu,sementara yang orang tuanya berkecukupan,merasa gengsi anaknya bekerja.

Tengok Malaysia 

Sewaktu kami menginap di First World Hotel, tampak beberapa orang mahasiswa sedang melukis di dinding. Untuk ini,tentu saja mereka mendapatkan honor dari pihak hotel, Yang menyembatani adalah dari pihak universitas.Sehingga mahasiswa yang menekuni study di bidang seni lukis,sejak dini sudah dipersiapkan,agar kelak mereka lulus,sudah tidak lagi gamang memasuki universitas kehidupan yang sesungguhnya.

Jadi lapangan kerja tidak semata diserahkan kepada anak anak didik,tapi pihak universitas juga ikut berperan serta secara aktif, dalam upaya menyembatani para mahasiswa,untuk mulai menerapkan ilmu mereka,sejak dini dan tidak menunggu hingga mendapat gelar sarjana.

Dulu para mahasiswa dari Malaysia datang ke Indonesia,termasuk di kota Padang,untuk menimba ilmu,tapi belakangan ternyata kita jauh tertinggal dibandingkan dengan orang orang yang dulu pernah berguru  ke negeri kita. Karena pendidikan kita terpancang dan terpaku,tidak ada upaya untuk membaca situasi dan kondisi perkembangan dunia.

Cara Australia Mempersiapkan Anak Anak

Di sini, membiasakan anak-anak sejak dari bangku SMP untuk mulai bekerja bukan karena orang tua kekurangan. Bukan juga untuk membantu meringankan beban orang tua, melainkan semata-mata mendidik anak-anak untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan dan hidup mandiri, bila mereka sudah menyelesaikan studi mereka.Bahkan pihak sekolah siap menyembatani anak anak  yang mau bekerja paruh waktu.Baik di toko roti,toko kue atau di Mc Donald,KFC dan sebagainya.

Cucu kami sejak SMP sudah kerja paruh waktu di toko roti, ketika sma kerja di restoran Jepang dan mahasiswa kerja di supermarket. Gonta ganti perkerjaan,bukan karena mencari gaji yang lebih besar,melainkan untuk menambah wawasan dalam berbagai bidang pekerjaan.Sementara cucu kami yang lainnya, menjadi staf pengajar di gynastic .

Anak SMP dapat gajian sekitar 150 dolar sebulan atau setara 1,5 juta rupiah.Dengan rincian,perjamnya 8 dolar dan bekerja dalam seminggu hanya 5 atau 6 jam.Sementara anak SMA mendapatkan penghasilan,sekitar 200 dolar perbulan atau setara 2 juta rupiah,dengan catatan perjam 10-12 dolar. Mereka bekerja seminggu 5 atau 6 jam. 

Sedangkan untuk mahasiswa,gaji perjam 15 dolar.Karena itu setiap bulan,mereka gajian,sekitar 300 dolar atau senilai 3 juta rupiah. Semua ini legal,bukan kerja sembunyi sembunyi. Mereka bekerja part timer dan terdaftar. Jadi andaikata ada pemeriksaan dari aparat, mereka tidak usah sembunyi.

10 Tahun Dipersiapkan Untuk Memasukki Kehidupan

Sejak dari SMP hingga selesai kuliah, berarti selama lebih kurang 10 tahun mereka sudah dipersiapkan untuk memasukki kehidupan yang sesungguhnya. Karena itu ketika sarjana,mereka sama sekali tidak gamang dan tidak ada sarjana yang menganggur,karena mereka sudah bekerja sebelum tamat.

Mereka tidak sempat menganggur, karena seluruh waktu sudah terjadwal untuk bekerja. Bila masih mau bekerja lagi, boleh bekerja Sabtu dan Minggu di tempat lain tentu dengan bayaran gaji ekstra. Karena itu,tidak mengherankan bila mahasiswa sudah bisa beli mobil dengan uang sendiri,walaupun sebatas mobil bekas.

Mendidik anak-anak sejak dini untuk bekerja bukan berarti memikulkan sebagian tanggung jawab orang tua kepada anak, melainkan justru agar mereka tidak lagi gamang ketika kelak harus melangkah memasuki kehidupan yang keras dan terkadang tak berbelas kasih.

Catatan kecil:

Menceritakan tentang kemajuan di negeri orang beresiko dianggap tidak berjiwa nasional,karena terkesan memuji muji tentang pendidikan di negeri orang. Tapi ini adalah resiko dari  seorang penulis. Apapun yang ditulis,selalu akan ada yang pro dan kontra.Tidak menjadi masalah orang menilai kita,karena memang hidup itu penuh dengan penilaian penilaian. Yang penting,tidak ada niat dalam hati kita,untuk meremehkan negeri sendiri. Karena apakah sesorang memiliki jiwa nasional atau tidak,tidak tergantung pada penilaian orang ,tapi pada hari nurani kita sendiri.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun