Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berumah di Tepi Pantai, tapi Nasib Berbeda Bagaikan Siang dan Malam

19 Mei 2017   19:32 Diperbarui: 19 Mei 2017   19:46 2628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

rumah ini ,lokasinya,hanya sekitar 300 meter dari pantai Burns Beach,/foto dokumentasi pribadi

Sama Sama Berumah Ditepi Pantai,Tapi Nasib Berbeda Bagaikan Siang dan Malam

" Kok takuik dilamun ombak , jan barumah di tapi pantai. "  Sebuah pribahasa dalam bahasa Minang,yang artinya :" Kalau takut terkena ombak, jangan membuat rumah ditepi pantai" Apakah pribahasa ini juga lazim didaerah lain,ataukah hanya populer di Sumatera Barat saja,sungguh saya tidak pernah menanyakannya.

Mengapa ada pribahasa dengan nada memperingatkan ini,terlahir,tentu mudah diterka,yakni karena kota Padang terletak di pinggir pantai. Ombaknya yang mengganas dan meluluh lantakkan bangunan peninggalan Belanda,termasuk Wisma Pancasila,yang dibangun di tahun 60 an ,juga tak luput tersapu ganasnya ombak di pantai Padang.

rumah-nelayan-1-591ee1ecc322bdf82c56a30b.jpg
rumah-nelayan-1-591ee1ecc322bdf82c56a30b.jpg
ini rumah nelayan di tepi pantai kota Padang/foto dok.pribadi,kunjungan kami tahun lalu

Orang orang yang tinggal di pinggir kali dan ditepi pantai,sejak tempo dulu,hingga kini merupakan masyarakat kelas bawah atau warga pinggiran. Yang kebanyakan mengantungkan hidup mereka pada sungai dan laut. Apalagi yang dapat mereka kerjakan ,selain dari mancing ,menjala atau elo pukat,untuk menangkap ikan. Hal ini mereka kerjakan secara gotong royong,karena tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri,kecuali hanya mancing sekedar iseng iseng,

Tahun lalu,kami khusus mengunjungi perumahan para nelayan yang tinggal di tepi pantai. Menengok kondisi rumah mereka,membuat dada kita serasa sesak,karena ternyata sejak di zaman Sitti Nurbaya ,hingga kini,hidup mereka tidak berubah.

alkal-dharman-591ee5d493977384225f2d35.jpg
alkal-dharman-591ee5d493977384225f2d35.jpg
Rumah mereka,hanya tinggal menunggu waktu,untuk terseret oleh ganasnya gelombang dan ini tampak nyata dari sebagian besar tebing yang membentengi rumah mereka sudah tergerus gelombang. Tapi belum tampak upaya pemerintah ,dalam bentuk apapun,termasuk melakukan upaya membangun beton untuk melindungi rumah penduduk.Padahal kondisi rumah rumah mereka sudah S.O.S.Kami kesini ditemani oleh sahabat kami H.Alqaf Dharman,dan sempat makan bersama di warung ini.

rumah-nelayan-2-591ee25d1cafbda539c16a7b.jpg
rumah-nelayan-2-591ee25d1cafbda539c16a7b.jpg
dok,pribadi/tak tampak usaha pemerintah untuk mencegah terhanyutnya rumah yang tampak digambar

Di Australia,Hanya Orang Kaya Yang Bisa Beli Rumah di Tepi Pantai atau Sungai

Sama sama tinggal di tepi pantai atau tepi kali,tapi nasib beda total ,bagaikan siang dan malam. Kalau di Indonesia,yang tinggal dibantaran sungai atau ditepi pantai,adalah warga pinggiran,maka di Australia,hanya orang kaya yang bisa beli rumah disini. Karena harganya minimal 1 juta dolar atau sekitar 10 miliar rupiah.Ini bukan rumah mewah,tapi rumah biasa biasa saja.seperti tampak pada gambar terposting

Kalau di Indonesia, istilah :"tinggal dipinggir kali " ,kayaknya sudah menggambarkan sesuatu yang menyedihkan. Disini  istilah :"River View " atau "Sea View" sudah membayangkan harga rumah diatas satu juta dolar.

Tulisan ini,tentu tidak bermaksud mengagung agungkan negeri orang,tapi sekedar gambaran ,betapa berbedanya nasib orang yang tinggal dipinggir kali dinegeri kita dan yang tinggal dipinggir sungai atau tepi pantai di Australia. Boleh dikatakan,bedanya bagaikan siang dan malam.

rumah-nelayan-3-591ee350749773253ee171a7.jpg
rumah-nelayan-3-591ee350749773253ee171a7.jpg
Perumahan Nelayan di Padang SOS

Karena saya lahir dan di besarkan di Padang,maka ada rasa sedih yang mendalam,menengok rumah rumah nelayan,yang sesungguhnya jauh dapat disebut sebuah rumah. Mereka bayar pajak,karena jelas tertulis didindingnya.ada pajak rumah makan,yang sekali gus menjadi tempat tinggal mereka.Jadi bukan perumahan liar,tapi mengapa tidak tampak upaya dari pemerintah setempat untuk melakukan sesuatu demi untuk mencegah  terhanyutnya rumah mereka?

Karena sudah lama meninggalkan kota Padang,maka saya tidak ada hubungan sama sekali dengan pemeritah setempat,sehingga hanya dapat menuliskan artikel ini.Kalau dulu,walikotanya adalah tetangga kami.Semoga ada yang membaca dan tertarik untuk menyampaikannya.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun