rumah ini ,lokasinya,hanya sekitar 300 meter dari pantai Burns Beach,/foto dokumentasi pribadi
Sama Sama Berumah Ditepi Pantai,Tapi Nasib Berbeda Bagaikan Siang dan Malam
" Kok takuik dilamun ombak , jan barumah di tapi pantai. " Â Sebuah pribahasa dalam bahasa Minang,yang artinya :" Kalau takut terkena ombak, jangan membuat rumah ditepi pantai" Apakah pribahasa ini juga lazim didaerah lain,ataukah hanya populer di Sumatera Barat saja,sungguh saya tidak pernah menanyakannya.
Mengapa ada pribahasa dengan nada memperingatkan ini,terlahir,tentu mudah diterka,yakni karena kota Padang terletak di pinggir pantai. Ombaknya yang mengganas dan meluluh lantakkan bangunan peninggalan Belanda,termasuk Wisma Pancasila,yang dibangun di tahun 60 an ,juga tak luput tersapu ganasnya ombak di pantai Padang.
Orang orang yang tinggal di pinggir kali dan ditepi pantai,sejak tempo dulu,hingga kini merupakan masyarakat kelas bawah atau warga pinggiran. Yang kebanyakan mengantungkan hidup mereka pada sungai dan laut. Apalagi yang dapat mereka kerjakan ,selain dari mancing ,menjala atau elo pukat,untuk menangkap ikan. Hal ini mereka kerjakan secara gotong royong,karena tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri,kecuali hanya mancing sekedar iseng iseng,
Tahun lalu,kami khusus mengunjungi perumahan para nelayan yang tinggal di tepi pantai. Menengok kondisi rumah mereka,membuat dada kita serasa sesak,karena ternyata sejak di zaman Sitti Nurbaya ,hingga kini,hidup mereka tidak berubah.
Di Australia,Hanya Orang Kaya Yang Bisa Beli Rumah di Tepi Pantai atau Sungai
Sama sama tinggal di tepi pantai atau tepi kali,tapi nasib beda total ,bagaikan siang dan malam. Kalau di Indonesia,yang tinggal dibantaran sungai atau ditepi pantai,adalah warga pinggiran,maka di Australia,hanya orang kaya yang bisa beli rumah disini. Karena harganya minimal 1 juta dolar atau sekitar 10 miliar rupiah.Ini bukan rumah mewah,tapi rumah biasa biasa saja.seperti tampak pada gambar terposting