Kerja keras bertahun tahun,tanpa mengenal lelah. Menabung sedikit demi sedikit. Ikat pinggang di kencangkan. Istri harus sabar untuk tidak menganti TV baru,walaupun yang dirumah sudah berusia 7 tahun. Anak minta HP baru,dibujuk ,agar gunakan HP lama,toh masih bisa digunakan. Menghindari makan direstoran. Kalaupun refershing,selalu mencari yang murah meriah.Bahkan kalau ada yang gratis,seperti jalan jalan kepinggir pantai,maka pilihan yang gratis,menjadi prioritas utama.
Hasil kerja keras,menabung dengan susah payah,akhirnya terkumpullah sejumlah uang ,yang nominalnya memadai.Ada teman yang menyarankan untuk beli tanah di kampung. Masih murah harganya dan diharapan dalam waktu beberapa tahun kedepan,harganya akan menjadi dua tiga kali lipat. Apalagi tanah bersertifikat Hak Milik. Siip deh. Maka setelah meninjau ke lokasi dan saling tawar menawar dengan pemilik ,didepan pak RT/RW dan tokoh masyarakat,dipastikan lokasi aman . Maka dibelilah tanah dengan hasil kerja keras dan susah payah menabung bertahun tahun. Memegang  buku Sertifikat Hak Milik tanah ,serasa jauh lebih berbahagia,ketimbang sewaktu diwisuda dan memegang Sertifikat Sarjana.
Sertifikat Hak Milik,Tapi Tanah Bukan Milik Kita
10 tahun sudah berlalu dan kabarnya harga tanah di lokasi yang sudah dibeli naik dua kali lipat.Rencana mau dijual. Maka bersama calon pembeli kelokasi.Tetapi alangkah kagetnya,ketika akan memasukki tanah hak milik,yang dibeli dengan susah payah,ternyata tidak diisinkan.Karena sudah dipagar  dan tampak ditanah milik kita sudah tumbuh dan berbuah kelapa sawit.. Serasa bermimpi buruk,kita ceritakan kepada yang menjaga Kebun,bahwa tanah tersebut adalah milik kita,sambil memperlihatkan foto copy sertifikat. Tapi dijawab:" Maaf,pak saya tidak tahu urusan itu, bapak bicara saja dengan boss saya ,yang saat ini sedang berada di jakarta"Sementara yang satu berbicara,sudah ada belasan orang lain ,yang mengelilingi kami.
Gimana Rasanya ?
Kisah itu bukan hasil rekayasa atau imaginasi,tapi adalah sepotong pengalaman pahit kami,memiliki tanah di Pasaman Barat,tepatnya di Kinali Kami beli tanah seluas 38 hektar di daerah Kinali semua surat lengkap, diketahui dan direstui oleh seluruh tokoh masyarakat di sana. Sudah diukur ulang oleh BPN dan diterbitkanlah Sertifikat Hak Milik. Kemudian karena ingin kaya di hari tua, kami masih membeli tanah lagi di KM.57 Pasaman, Sejak dari mulai DMJ hingga ke jalan masuk sudah kami beli dan ada sertifikat hak milik. Kemudian tanah didalamnya, yang dapat dilalui kendaraan langsung dari jalan raya, juga sudah mendapatkan Sertifikat Hak Milik 1,7 hektar.
Kami mencoba mendatangi BPN disana dan disarankan untuk diukur ulang. Maka saran tersebut kami ikuti,untuk mengklarifikasi ,bahwa tanah tersebut memang hak milik kami dan sudah sesuai dengan peta lokasi yang tertera di buku Sertifikat Hak Milik. Jelas untuk mengukur ulang tanah seluas 38 hektar,tidaklah gratis,tapi  harus mengeluarkan dana jutaan rupiah.
Ukur mengukur selesai. Sah, memang itu adalah hak kami. Tapi mau diapain orang sekampung yang menjaga tanah tersebut? Mau perkara? Berarti lapor ke Kantor Polisi,kemudian bolak balik ke lokasi. Pakai Pengacara , keluar masuk ke pengadilan dan seterusnya dan seterusnya.Membayangkan saja,sudah mual,apalagi menjalaninya.
Hasil kerja keras selama bertahun tahun, atau mungkin juga belasan tahun, yang direncanakan untuk persiapan masa depan, ternyata hanya tersisa secarik kertas yang tak berharga.
Jangan Sampai Orang Tua Kehilangan Tongkat Dua Kali
Begitu kata pribahasa .Tapi sejujurnya,tanpa merasa malu mengungkapkan aib sendiri,saya bukan dua kali,tapi berkali kali ,kehilangan tongkat. Tanah di Pasaman ada dua kapling .Kemudian di Pekanbaru ,juga sama halnya.Sertifikat Hak MIlik,tapi kepemilikan tanah ditangan orang lain. Beli ruko seharga Rp.250 juta di Saphire  Yogya, hasilnya sami mawon. Penjualnya kalah dan uang saya hilang total. Mau berperkara?Hmm pikir pikir dulu,karena belum tentu menang, walaupun memegang Sertifikat Hak Milik,karena kebenaran  dimata hukum itu bersifat sangat relatif.Seperti gelang karet,yang bisa ditarik ulur. Bisa bisa uang biaya perkara dan bayar pengacara akan jauh lebih mahal,ketimbang harga tanah dan ruko.