Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hindari Menobatkan Diri Sendiri

25 Januari 2017   18:59 Diperbarui: 25 Januari 2017   19:18 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hindari Menobatkan  Diri , Sebagai Tokoh Masyarakat

Bila kita Penulis Novel atau Penulis fiksi, maka tentu saja kita boleh menempatkan diri kita sendirI, sebagai pemeran atau tokoh utama dalam karangan kita. Tidak ada yang berhak komplain, apalagi melarang kita, Tapi dalam kehidupan nyata, ada rambu rambu yang harus menjadi patokan,agar jangan sampai kita berjalan diluar jalur.

Belakangan ini,kitamenjadi risih, membaca, mendengar, maupun menyaksikan, orang- orang yang berbicara dengan mengatas namakan rakyat. Misalnya "Rakyat menuntut keadilan" rakyat yang mana? Siapa yang mengangkat diri kita menjadi wakil rakyat? Ataukah boleh setiap orang menobatkan diri sendiri ,menjadi jubir rakyat?

Belum lagi yang mengatas namakan  diri sebagai "tokoh masyarakat"Masyarakat yang mana? Lalu siapa yang mengangkat dirinya sebagai tokoh masyarakat ? Oleh karena itu, kita perlu mawas diri, agar tidak terjebak, dalam permainan tokoh menokohkan  ini.

Saya boleh mengatakan Atas nama keluarga, mengucapkan terima kasih Atau atas nama keluarga mengucapkan Selamat Hari Raya atau Selamat Tahun Baru Imlek,  Karena hanya bersifat seremonial dan tidak akan membawa dampak apapun bagi anggota keluarga saya yang lainnya.

Akan tetapi, bilamana pembicaraan atau pernyataan saya, sudah masuk keranah hukum, maka walaupun saya kepala keluarga, saya seharusnya berunding terlebih dulu dengan anak, istri, mantu dan cucu-cucu saya. Karena bilamana terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam pernyataan saya dan saya dilaporkan, maka bukan hanya diri saya pribadi yang akan menanggung dampaknya, tetapi seluruh anggota keluarga saya.

Apalagi bila saya berani berani mengatasnamakan "atas nama keluarga besar Effendi" tanpa terlebih dulu, melakukan perundingan dengan seluruh jajaran keluarga, maka saya sama sekali tidak berhak mengatas namakan "seluruh keluarga besar" Karena dalam keluarga besar saya, terdapat lebih dari 200 orang yang sudah dewasa dan menggunakan nama keluarga "Effendi"

Perlu Kontrol Diri

Karena itu, sebelum semuanya terlanjur basah dan berakibatkan masalah yang berbelit belit, sebaiknya sedini mungkin, kita membatasi diri. Dalam menyampaikan asprasi, mengundang komunitas lain, memberikan saran, kritikan, bahkan mungkin tuntutan, gunakanlah identitas pribadi.

Hindari bawa bawa nama:

  1.     agama
  2.     etnis
  3.     komunitas tertentu

Kecuali, bilamana kita mendapatkan mandat, untuk mengatas namakan agama yang kita imani atau mengatas namakan suku /etis dari mana kita berasal maupun komunitas yang diwakili.

Hal ini merupakan hal yang sangat penting, demi untuk menghindari berbagai kesalah pahaman. Jangan bersembunyi dibalik agama, maupun etnis, untuk menyampaikan rasa tidak puas ataupun kritikan. Berlakulan satria dan katakanlah "saya tidak setuju" saya menuntut atau saya akan memperkarakan". Walaupun kelak kalah dalam berpekara, tapi orang akan tetap menghargai kita, ketimbang bersembunyi di balik nama: rakyat,etnis, maupun agama atau komunitas, Terlepas dari masalah politik, hal ini berlaku dalam semua sektor kehidupan, selama kita berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. 

Bersahabat dengan Tokoh,Bukan Berarti Kita Ikut Jadi Tokoh

Kita dengan bebas boleh berteman, bahkan bersahabat dengan seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pemulung, tukang becak, sopir angkot ,hingga orang orang penting dan merupakan tokoh atau Pejabat penting.

Tapi ada hal yang sangat perlu kita ingat, bahwa bersahabat dengan orang penting ,maupun pejabat tinggi,tidak secara serta merta, kita ikut menjadi orang penting. Kita adalah tetap diri kita. Kalau kita berjalan bersama sama dan dihormati disepanjang jalan atau diberikan tempat utama dalam undangan, jangan lupa, semuanya bukan untuk kita. Diri kita, hanya kebagian bisa dari rasa hormat masyarakat kepada sang pejabat atau orang penting.

Mawas Diri = SadarDiri

Mawas diri, dalam arti kata lain adalah "sadar diri", Sadar diri kita siapa, sehingga tidak ikut melambung, ketika mendapatkan kesempatan, berfoto dengan pejabat penting, bahkan mungkin juga foto bareng dengan presiden. Boleh boleh saja kita berbangga diri, karena tidak banyak yang dapatkan kesempatan seperti itu. Tapi tetap sadar diri,bahwa siapa diri kita sesungguhnya.

Dengan selalu sadar diri, maka kita dapat menghindari, dipermalukan atau jadi bahan olok olokan bagi orang lain.

Misalnya, saya bercerita dan menampilkan foto saya, bersama Presiden Soeharto diIstana Merdeka. Atau bersama Presiden Joko widodo, dalam acara makan bersama di istana dan acara makan bersama menteri, sewaktu saya masih pengusaha,tentu boleh boleh saja. karena semuanya memang benar,bukan khyalan.

Tapi bilamana dalam setiap pembicaraan, selalu mengulang ulangi nya, maka orang yang mendengarkan, bukannya terkagum kagum, melainkan malahan mual mual dengar cerita yang itu itu juga. Karena itu,jadilah diri kita sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam diri kita. Hal ini  adalah jauh lebih terhormat, ketimbang ingin menjadi diri orang lain, kendati sosok yang menjadi idola kita adalah tokoh penting dalam masyarakat. Hargailah diri kita,apa adanya. Always be your self

Kalau Memang Kita Layak  

Kalau diri kita memang layak dijadikan tokoh ataupun memang sosok yang pantas di hormati dan didahulukan, maka biarkanlah orang lain, yang memberikan penghargaan tersebut kepada diri kita, Hindarilah agar jangan sampai kita menyodor nyodorkan diri sebagai orang terhormat, apalagi sampai menobatkan diri sendiri, sebagai tokoh masyarakat. Rasa hormat itu, terlahir dari dalam lubuk hati orang lain, bukan kita yang memaksa orang untuk mengutamakan diri kita,

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun