Berkaca Diri ,Lewat Potret Toleransi di Negeri Orang
Rasa heran saya,sungguh tak habis habisnya,setiap kali mendengarkan kata :"toleransi",menjadi bahan perdebatan sengit. Seakan "sesuatu" yang bernama "toleransi " itu adalah sesuatu yang baru,yang asing,yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Karena ada begitu banyak orang pintar,yang tidak dapat memaknai kata "toleransi " sebagaimana semestinya.
Padahal,toleransi bukan dalam konteks mendistorsi jati diri kita,apalagi sampai menghapus jati diri,melainkan hanya sebatas membiarkan  orang lain melakukan segala sesuatu dengan bebas,tanpa dihalang halangi dan diintimidasi. Toleransi, berarti memahami, menerima dan dengan berjiwa besar ,mengakui bahwa setiap orang berhak berbeda dengan diri kita. Beda dalam hal budaya,adat istiadat, bahkan bebas dalam menentukan jalan hidupnya, termasuk memilih, agama yang akan diimaninya.
Menerima perbedaan, tanpa mengusik ngusik orang lain,bukan berarti, secara serta merta, hakekat jati diri kita menjadi meluntur dan berganti ujud. Tapi tampaknya, teramat sulit dan susah bagi banyak orang untuk memahami, hal yang sesungguhnya sangat sederhana dan gampang dimengerti, bahwa dalam hidup bertoleransi,tidak boleh ada unsur paksaan dari siapapun.
Australia,sering kali disebut sebut sebagai negara sekuler.Tapi ketika saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mereka mempraktikkan hidup bertoleransi, sungguh saya merasa,bahwa dalam hal ini, mereka patut mendapatkan apresiasi. Kalau mendengarkan orang lain bercerita, ya gampanglah. Yang namanya bercerita,kan bisa dikarang sesuai skenario kita. Karena itu, saya mencoba menampilkan sepotong potret hidup bertoleransi di negeri orang.
Tahun lalu, sewaktu masih di Wollongong bersama putri kami dan keluarganya, saya dan istri menyempatkan untuk hadir dalam sebuah undangan resmi dari Departemen Pendidikan. Karena cucu kami adalah salah satu dari siswa yang akan menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yakni Hon Adrian Piccoli MP.Sementara penyerahan Piagam Penghargaan di serahkan oleh Mr.Gregory Prior, yang merupakan Deputy Secretary dari Departement Education and Community.
Selesai acara seremonial,penyerahan Piagam Penghargaan ,ada pengumuman dari Panitia,bahwa semua tamu dipersilakan untuk menikmati makan malam yang sudah dipersiapkan. Saya tidak ingat persis, basa basi ajakan makan malam,tapi satu kalimat yang menggugah hati adalah :" Don't worry,all the menu is Halal"
Ada rasa kagum, mendapatkan kenyataan ,bahwa di negeri yang selama ini, sering disebut sebut sebagai negeri sekuler,ternyata mampu menerapkan hidup bertoleransi dalam acara resmi. Padahal lebih dari 75 persen, penduduk Australia ,mengaku beragama Kristen dan Katholik.Yang beragama Islam,tidak cukup 5 persen. Tapi untuk warga yang 5 persen ini, mereka sudah mempersiapkan menu Halal.
Sebuah praktik hidup bertoleransi,yang dicontohkan oleh kelompok mayoritas,terhadap kelompok minoritas. Padahal sebelumnya,sama sekali tidak ada gembar gembor di tv maupun dimedia sosial .